Jumat, 03 Januari 2014

proposal asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medik HIV/AIDS


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dewasa ini, dunia tengah mengalami suatu pandemi virus HIV. Pandemi ini melahirkan beragam masalah baik di bidang medis maupun sosial, ekonomi bahkan politik. Mengapa? Selain karena perjalanan alamiah penyakit yang belum diketahui dengan pasti,juga dikarenakan masalah ini timbul berkelanjutan dalam tiga aspek epidemi,yaitu : silent epidemic,epidemi munculnya AIDS dan epidemi reaksi masyarakat. Pada silent epidemic,resiko penularan sangat tinggi karena tak menunjukkan manifestasi klinis sehingga penderita dan masyarakat tidak tahu bahwa ada masalah kesehatan yang sedang terjadi. Pada epidemi yang kedua,penderita dapat mengalami beragam masalah kesehatan seperti infeksi oportunistik,neoplasma akibat defisiensi imun dan dapat berujung kematian. Sedangkan pada epidemi ketiga,timbulnya reaksi masyarakat dapat melahirkan masalah-masalah sosial seperti adanya kecurigaan dan diskriminasi yang berarti yang berdampak pada terciptanya isolasi sosial.
Angka kejadian di dunia hingga akhir tahun 2000 adalah 36, 1 juta orang dan 70%nya berada di Afrika Sub Sahara. Dari 36,1 juta kasus,16,4 juta adalah perempuan dan 600.000 adalah anak-anak berusia kurang dari 11 tahun. Infeksi HIV telah menyebabkan kematian pada 21,8 juta orang sejak akhir tahun 1970-an sampai awal 1980-an. Di Asia Selatan dan Tenggara diperkirakan 5,8 juta orang hidup dengan HIV-AIDS pada periode yang sama(Price & Wilson,2005:225). Di Indonesia,prevalensi kasus ini terus mengalami peningkatan. Menurut catatan Departemen Kesehatan RI, hingga akhir juni 2005 tercatat 3358 orang, perempuan 2762 orang,laki-laki 546,waria 50 orang yang terinfeksi HIV-AIDS dan meninggal 828 orang . Prevalensi kasus tertinggi ada pada propinsi Papua yaitu 26,65% dari jumlah keseluruhan. Sementara di Propisi NTT berjumlah 42 orang(0,76%).
AIDS(Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang berat dan merupakan manifestasi stadium akhir infeksi HIV(Merati, 2001:543). Penyebab  utamanya adalah retrovirus RNA HIV (Price & Wilson, 2005:241). Penularannya melalui hubungan seksual (homoseksual dan heteroseksual), tranfusi darah yang terinfeksi HIV, penyalahgunaan obat terlarang per IV dan secara vertikal dari ibu ke bayinya. Target utama virus ini adalah reseptor CD4+ yang terdapat di membran sel T penolong. Virus ini masuk ke sel T penolong melalui perlengketan gp 120 ke reseptor sel T dan CD4+ bersama salah satu koreseptor kemokin, kemudian mengambil alih metabolisme sel untuk mensintesis virus baru. Setelah berada dalam sel,virus melakukan transkripsi dan digabungkan dalam bahan genetik sel sasaran. Tanda utama infeksi HIV adalah deplesi progresif sel-sel CD4+ termasuk sel T penolong dan makrofag. Bila terjadi deplesi sistem imun, maka  penderita akan rentan terhadap beragam infeksi oleh agen-agen infeksiosa. Waktu median dari serokonversi sampai kematian akibat penyakit AIDS adalah sekitar 11 tahun(Price & Wilson,2000:242).
Menurut data yang diperoleh dari rekam medik keperawatan Rumah Sakit Umum Daerah Atambua pada 3 tahun terakhir ini tercatat 161 pasien HIV-AIDS. Perincian sebagai berikut : tahun 2007 : 33 orang (20,49%), laki-laki 24 orang, perempuan 9 orang dan meninggal 2 orang. Tahun 2008 : 56 orang (34,7%), laki-laki 25 orang, perempuan 31 orang dan meninggal 7 orang. Tahun 2009 sebanyak 72 orang (44,72%), laki-laki 46 orang, perempuan 26 orang dan meninggal 1 orang. Berdasarkan uraian di atas dan melihat prevalensi kasus yang tinggi, penulis tertarik melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS  melalui pendekatan proses keperawatan di ruang perawatan khusus Rumah Sakit Umum Daerah Atambua.
B.     Rumusan Masalah
Bagaimana pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
C.     Tujuan Penulisan
1.      Tujuan Umum
Mengembangkan pola pikir ilmiah dalam memberikan asuhan keperawatan dengan metode pendekatan proses keperawatan pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
2.      Tujuan Khusus
a.         Memperoleh pengalaman nyata dan mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
b.         Memperoleh pengalaman nyata dan mampu merumuskan prioritas masalah dari masalah-masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
c.         Memperoleh pengalaman nyata dan mampu merencanakan rencana keperawatan secara rasional pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
d.        Memperoleh pengalaman nyata dan mampu melakukan atau melaksanakan rencana tindakan yang sudah direncanakan pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
e.         Memperoleh pengalaman nyata dan mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
f.          Memperoleh pengalaman nyata dan mampu mendokumentasikan tindakan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
g.         Mampu menilai kesenjangan antara teori dengan kasus nyata dan mencari alternatif pemecahan masalah pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
D.    Manfaat Penulisan
1.      Bagi Klien
Sebagai bahan tertulis yang mengungkapkan bahwa klien telah menerima asuhan keperawatan yang merupakan bantuan dalam pemecahan masalah kesehatan yang dialami klien.
2.      Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber informasi dan tolak ukur untuk menilai keberhasilan pendidikan ahli madya keperawatan.
3.      Bagi Penulis
Menjadi bahan evaluasi yang menilai kemampuan penerapan konsep keperawatan yang didapatkan selama proses perkuliahan ke dalam kerja nyata di lahan praktek.
4.      Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan dalam rangka meningkatkan penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medik cedera kepala berat dan sebagai bahan evaluasi dalam penanggulangan masalah pasien.
E.     Metode Penulisan
Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif yang dilakukan melalui :
1.      Studi Kasus
Penulis melakukan asuhan keperawatan dengan pendekatan proses keperawatan sejak pengambilan data melalui wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, catatan perawat dan catatan medik, dilanjutkan dengan perumusan diagnosa keperawatan, kemudian diimplementasikan, dievaluasi dan didokumentasikan.
2.      Studi Kepustakaan
Diambil dari referensi-referensi dan sumber-sumber yang berhubungan dengan materi HIV-AIDS.
F.      Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Proposal ini penulis menggunakan sistematika sebagai berikut :
BAB I       : PENDAHULUAN
Memuat latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II       :  TINJAUAN TEORITIS
Mencakup konsep dasar teori yang terdiri dari anatomi fisiologi, pengertian, penyebab, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan. Juga memuat tentang konsep proses keperawatan yang terdiri dari  pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
BAB III     : TINJAUAN KASUS 
BAB IV     : PEMBAHASAN
BAB V       : KESIMPULAN DAN SARAN













BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Konsep Dasar
1.      Anatomi dan Fisiologi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat dapat digerakan dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek, pembuluh-pembuluh ini sukar mengalami vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat dibawah galea terdapar ruang subaponeurotik  yang mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak. Tulang tengkorak sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding dalam disebut tabula interna. Tabula  interna mengandung alur-alur yang berisikan arteria meningea anterior, media dan posterior. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meniges adalah duramater, araknoid, dan piamater (Price & Wilson,1999:1014-1015).


2.      Pengertian
Secara harafiah, AIDS(Acquired Immune Deficiency Sindrome) dapat diartikan sebagai berikut : Acquired (Didapat, Bukan penyakit keturunan), Immune (Sistem kekebalan tubuh), Deficiency (Kekurangan), Syndrome (Kumpulan gejala-gejala penyakit). Jadi AIDS adalah kumpulan gejala-gejala penyakit yang didapat akibat kekurangan sistem kekebalan tubuh.
AIDS diartikan sebagai :    bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus( Suzane C. Smetzler dan Brenda G.Bare )
AIDS diartikan sebagai :    bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi ( Center for Disease Control and prevention).Prevention )
AIDS adalah                    :  suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang berat dan merupakan manifestasi stadium akhir infeksi HIV (Merati, 2001:543).
 AIDS adalah                   :  gangguan imunodefisiensi sekunder (Long, 1996: 572).
AIDS adalah                    :  suatukumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Price & Wilson, 2005:224).


3.      Penyebab
Penyebab  dari AIDS adalah Retrovirus (HIV) yang telah terisolasi dalam cairan tubuh orang yang terinfeksi, yaitu darah, semen, sekresi vagina, ludah, air mata, air susu, CSF, cairan amnion dan urin(Long,1996:572). HIV, yang dahulu disebut virus limfositik sel T manusia  tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 yang menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia.Antara HIV-1 dan 2 intinya mirip, tetapi selubung luarnya sangat berbeda.
Genom HIV mengode sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus. Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan yaitu bahwa protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infektivitas dan merupakan duplikasi dari protein lain,Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan transkripsi virus. HIV-2 yang pertama kali diketahui dalam serum dari para perempuan Afrika Barat pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1(Price & wilson,2005:224-225). HIV mempunyai ensim reverse transcriptase yang terdapat di dalam inti HIV dan akan mengubah RNA virus menjadi DNA. Inti HIV merupakan protein yang dikenal dengan p24, dan bagian luar HIV yang berupa selubung gli9koprotein terdiri dariselubung transmembran gp 41 dan bagian luar berupa tonjolan-tonjolan yang disebut gp 120. Gen yang selalu ada pada pada sruktur


genetik virus HIV adalah gen untuk kode inti p24, dan gen yang mengkode opolimerase Rtase. Sedangkan gen yang mengkode selubung luar akan sangat bervariasi dari satu strain virus dengan yang lainnya (Slamet, 2001 :546).

4.      Patofisiologi
HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serobrospinalis, semen, air mata, sekresi vagina atau serviks, urine, ASI dan air liur. Penularan terjadi paling efisien melalui darah dan semen. Tiga cara utama penularan adalah kontak dengan darah, kontak seksual dan kontak ibu-bayi. HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul reseptor membran CD4. Sasaran yang disukai HIV adalah limfosit T penolong positif-CD4, atau sel T4 (Limfosit CD4+). gp 120 HIV berikatan kuat dengan Limfosit CD4+ sehingga gp 41 dapat memerantai fusi membran virus ke membran sel. Setelah terjadi fusi sel virus, RNA Virus masuk ke bagian tengah sitoplasma Limfosit CD4. Terjadilah replikasi virus dan berlanjut sepanjang periode latensi klinis. HIV secara terus-menerus terakumulasi dan bereplikasi di organ-organ Limfoid. Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang intensif secara humoral maupun selular.  Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS (Price, 2005:227-231).
5.      Tanda dan Gejala
Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1-2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.
Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk menibgitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal
a.        Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Acut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak merah ditubuh.
b.        Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala
Diketahui oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah akan diperoleh hasil positif.
Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3 bulan.
6.      Komplikasi
a.    Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
b.    Neurologik
kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.
Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV)

c.    Gastrointestinal
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.
d.    Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.
e.    Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuna, dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
f.    Sensorik
Pandangan       :  Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pendengaran : Otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.

7.      Pemeriksaan Penunjang
a.       JDL : Anemia dan trombositopenia idiopatik.
b.      DSP : Leukopenia mungkin ada; pergeseran diferensial ke kiri menunjukan proses infeksi(PCP); bergeser ke kanan dapat terlihat. Pada infeksi tertentu, jumlah sel-T, tak ada pergeseran juga dapat terjadi.
c.       Panel Anergi : Anergi kutaneus(kurang reaktivitas pada antigen dimana pasien telah mengetahuinya) adalah indikator yang umum ditemukan pada depresi sel imunitas humoral.
d.      Tes antibodi serum : skrining HIV dengan ELISA. Hasil tes positif mungkin akan mengindikasikan adanya HIV tetapi bukan merupakan diagnosa
e.       Tes blot Western : mengkonfirmasikan diagnosa HIV.
f.       Sel T-Limfosit : penurunan jumlah total
g.      Sel T4-helper : jumlah yang kurang dari 200 mengindikasikan respon defisiensi imun hebat.
h.      T8 : Rasio terbalik (2:1 atau lebih besar) dari sel supresor pada sel helper (T8 ke T4) mengindikasikan supresi imun.
i.        Protein pembungkus HIV : Peningkatan nilai kuantitatif protein ini dapat mengindikasikan progresi infeksi.
j.        Kadar Ig : Umunya meningkat, terutama IgG dan IgA dengan IgM yang normal ataupun mendekati normal
k.      Reaksi rantai polimerase : mendeteksi adanya DNA virus dalam jumlah yang sedikit pada infeksi sel perifer monoselular.
l.        Infeksi parasit dan protozoa : PCP kriptosporisiosis, toksoplasmosis.
m.    Infeksi jamur : Candia albicans (kandidiasis), kriptokokosis, histoplasmosis
n.      Infeksi bakteri : TB mikobakterial milier, Shigella, Salmonela
o.      Infeksi viral : CVM, herpes simpleks, herpes zoster
p.      Pemeriksaan neurologis, mis EEG, MRI, Scan CT Otak
q.      Sinar x dada : mungkin normal pada awalnya atau menyatakan perkembengan infiltrasi intertisial dari PCP dan bentuk-bentuk pneumonia lainnya
r.        Biopsi : dilakukan untuk diagnosa yang berbeda aru KS atau pun lesi neoplastik lainnya
 (Doengoes, 1999 : 272).
8.      Penatalaksanaan
a.   Penatalaksanaan Keperawatan
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
1)    Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi.
2)    Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.
3)    Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4)    Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
5)    Mencegah infeksi ke janin / bayi baru lahir.
6)    Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat, hindari stress, gizi yang kurang, alkohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
7)    Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat Replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

b.      Penatalaksanaan Medis
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu :
1)    Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nosokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
2)    Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
3)    Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah : Didanosine, Ribavirin, Diedoxycytidine, Recombinant CD 4 dapat larut
4)    Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
B.     Konsep Proses Keperawatan
1.      Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisa sehingga dapat diketahui masalah-masalah dan kebutuhan keperawatan seorang pasien
Langkah-langkah pengkajian
a.       Identitas Pasien dan Keluarga
Pengumpulan data pasien baik subjektif atau objektif pada nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan penanggungjawab dan lain-lain.
b.      Riwayat kesehatan
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah, dispea/takipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparalise, luka kepala, akumulasi sputum pada saluran napas, adanya  upuor dari hidung, telinga dan adanya kejang. Penyakit kesehatan keluarga, terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dan pasien atau keluarga sebagai data subjektif. 
c.       Pemeriksaan fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15, disorientasi oral, tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk brudzinski positif, adanya hemiparese.    
Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai rangsangan rasa, raba, suhu, dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga dapat mengingat kejadian sebelum dan sesudah trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak mempertahankan keseimbangan tubuh.
Nervus cranial dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau perdarahan otak. Aspek kardiofaskuler didapat perubahan tekanan darah, nadi. Aspek pernapasan terjadi perubahan pola napas baik irama, kedalaman maupun frekuensi. 
Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengaturan suhu tubuh. Aspek eliminasi, akan didapat inkontimensia / distensi dalam hal buang air besar atau kecil.
Pengkajian lain yang diperlukan dalam pemberian asuhan keperawatan  adalah : adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga dan mata. Adanya hiperekskresi pada rongga mulut, adanya perdarahan terbuka / hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu dikaji dari kepala hingga kaki.
Hal lain yang diperlukan pula adalah pengkajian psikologis. Dimana ada pasien dengan tingkat kesadarannya yang menurun, maka untuk data psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tidak kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabilitas, apatis, delirium dan kebingungan. Keluarga pasien dapat mengalami kecemasan, sehubungan dengan penyakitnya.
Data sosial yang diperlukan adanya bagaimana pasien berhubungan dengan orang terdekat dan lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami trauma dan rasa aman. Adapun data spiritual yang diperlukan adalah ketaatan terhadap agama, semangat, dan falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Data-data di atas adalah dasar dalam penetapan diagnosa keperawatan.
(Asih, 1996 : 54-57)

2.      Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah masalah yang nyata atau masalah kesehatan yang potensial pada individu, keluarga dan kelompok dimana perawat dapat secara sah menangani dalam bentuk tindakan keperawatan yang ditujukan untuk mengatasi atau mengurangi masalah tersebut.
a.    Resiko tinggi terhadap infeksi (infeksi Oportunistik) berhubungan dengan pertahanan primer tak efektif dan depresi sistem imun.
b.    Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan yang berlebihan : Diare berat, Muntah, Status hipermetabolisme dan pembatasan pemasukan.
c.    Resiko ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ketidakseimbangan muskuler (melemahnya otot-otot pernapasan) dan ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
d.    Resiko tinggi terhadap perubahan faktor pembekuan akibat cedera berhubungan dengan penurunan absorpsi vitamin K, perubahan pada fungsi hepar.
e.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna, mengunyah, dan nutrisi metabolisme.
f.     Nyeri (Akut/Kronis) berhubungan dengan inflamasi, neoropati perifer, mialgia dan kejang abdomen.
g.    Aktual dan atau resiko tinggi terhadapa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan defisit imunologis, malnutrisi.
h.    Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan defisit imunologis dan kesehatan oral tidak efektif.
i.      Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolisme, tuntutan psikologis/emosional berlebihan dan efek samping obat-obatan.
j.      Perubahan proses pikir berhubungan dengan hipoksemia, infeksi SSP, malignansi otak, dan perubahan metabolisme.
k.    Ansietas/Ketakutan berhubungan dengan ancaman pada konsep pribadi, pemisahan dari sistem pendukung, ketakutan akan pengeluaran penyakit pada keluarga yang dicintai.
l.      Isolasi sosial berhubungan dengan persepsi tentang tidak diterima dalam masyarakat, sumber-sumber pribadi tidak adekuat/sistem pendukung.
m.   Ketidakberdayaan berhubungan dengan konfirmasi diagnosa sakit terminal.
n.    Kurang pengetahauan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan denga kurang pemajanan, kesalahan interpretasi informasi dan keterbatasan kognitif.

3.      Rencana Tindakan Keperawatan
a.       Diagnosa I :
Resiko tinggi terhadap infeksi (infeksi Oportunistik) berhubungan dengan pertahanan primer tak efektif dan depresi sistem imun.
Hasil yang diharapkan :          Pasien akan mengidentifikasi/ kut serta dalam perilaku yang mengurangi resiko infeksi, mencapai masa penyembuhan luka/lesi, tidak demam dan bebas dari pengeluaran/sekresi purulen serta tanda-tanda lain dari kondisi infeksi.
Rencana tindakan :
1)      Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak perawatan dilakukan.
R/ Mengurangi resiko kontaminasi silang.
2)      Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik.
R/    Mengurangi patogen pada sistem imun dan mengurangi kemungkinan pasien mengalami infeksi nosokomial.  
3)      Diskusikan tingkat dan rasional isolasi pencegahan dan mempertahankan kesehatan pribadi. 
R/    Meningkatkan kerja sama dengan cara hidup dan berusaha mengurangi rasa terisolasi.
4)      Pantau tanda-tanda vital, termasuk suhu.  
R/    Memberikan informasi data dasar. 
5)      Selidiki keluhan sakit kepala, kaku leher dan perubahan penglihatan.  
R/    Ketidaknormalan neurologis umum dan mungkin dihubungkan dengan HIV atau infeksi sekunder. 
6)      Periksa kulit/membran mukosa oral terhadap bercak putih/lesi.
R/    Kandidiasis oral, KS, Herpes adalah penyakit yang umumnya terjadi dan memberikan efek pada membaran kulit.
7)      Bersihkan kuku setaiap hari
R/    Mengurangi resiko transmisi bakteri phatogen melalui kulit
8)      Pantau keluhan nyeri uluhati, disfagia, sakit retrosterno pada waktu menelan, peningkatan kejang abdominal, diare hebat.
R/    Esofagitis mungkin terjadi sekunder akibat kandidiasis oral ataupun herpes.
9)      Periksa adanya luka/lokasi alat invasif, perhatikan tanda-tanda inflamasi
R/    Identifikasi/perawatan awal dari infeksi sekunder dapat mencegah terjadinya sepsis.
10)  Gunakan sarung tangan, masker dan skort selama kontak langsung dengan sekresi atau ekskresi.
R/    Penggunaan masker, skort dan sarung tangan dilakukan untuk mencegah kontak langsung dengan cairan tubuh penderita
11)  Awasi pembuangan jarum suntik dan mata pisau secara ketat dengan menggunakan wadah tersendiri
R/    Mencegah inokulasi tak disengaja dari pemberi perawatan
12)  Beri label pada tabung darah, wadah cairan tubuh, pembalut/ linen yang kotor dan dibungkus dengan layak untuk pembuangan setiap protokol isolasi
R/    Menghindari kontaminasi silang dan mewaspadakan personel
13)  Bersikan percikan cairan tubuh/darah dengan larutan pemutih (1:10)
R/    Mengontrol mikroorganisme pada permukaan keras
14)  Kolaborasi : Studi laboratorium ; JDL dan Kultur lesi, Darah, Urine, dan Sputum
R/    Perubahan pada JDL mengindikasikan proses infeksi dan untuk menentukan metode perawatan yang sesuai.
15)  Kolaborasi : Beri antibiotik sesuai indikasi
R/    Menghambat proses infeksi
b.      Diagnosa II :
Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan yang berlebihan : Diare berat, Muntah, Status hipermetabolisme dan pembatasan pemasukan
Hasil yang diharapkan         :  Pasien akan mempertahankan hidrasi dibuktikan oleh membran mukosa lembab, turgor kulit baik, tanda-tanda vital stabil, haluan urine adekuat.
Rencana tindakan :
1)      Pantau tanda-tanda vital, termasuk CVP bila terpasang.
R/    Indikator dari volume cairan sirkulasi.
2)      Catat peningkatan suhu dan durasi demam, beri kompres hangat sesuai indikasi.
R/    Meningkatkan kebutuhan metabolisme dan diaporesis yang berlebihan dapat dihubungkan dengan dema ; kehilangan cairan tidak kasatmata.
3)      Kaji turgor kulit, membran mukosa dan rasa haus.
R/    Indikator tidak langsung dari status cairan.
4)      Ukuran haluaran urine dan berat jenis urine. Ukur jumlah kehilangan diare dan catat kehilangan tidak kasatmata.
R/    Peningkatan BJU/penurunan haluaran urine menunjukan perubahan perfusi ginjal.
5)      Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/    Fluktuasi tiba-tiba menunjukkan status hidrasi. 
6)      Pantau pemasuka oral dan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari.
R/    Mempertahankan keseimbangan cairan, mengurangi rasa haus dan melembabkan membran mukosa.
7)      Buat cairan mudah diberikan pada pasien.
R/    Meningkatkan pemasukan cairan.
8)      Hindari makanan yang berpotensial menyebabkan diare  
R/    Mungkin dapat mengurangi diare.
9)      Kolaborasi beri cairan/elektrolit melalui selang pemberi makanan/IV
R/    Diperlukan untuk mendukung/memperbesar volume sirkulasi, terutama jika pemasukan oral tidak adekuat.
10)  Kolaborasi pantau hasil Lab : Hb/Ht, Elektrolit serum/urine, BUN/Kreatini
R/    Bermanfaat dalam memperkirakan kebutuhan cairan, mewaspadakan kemungkinan adanya gangguan elektrolit dan menentukan kebutuhan elektrolit serta mengevaluasi perfusi/fungsi ginjal.
11)  Kolaborasi beri obat-obatan sesuai indikasi
R/    Menekan faktor-faktor yang dapat memperberat kondisi pasien.



c.       Diagnosa III :
Resiko ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ketidakseimbangan muskuler (melemahnya otot-otot pernapasan) dan ketidakseimbangan perfusi ventilasi
Hasil yang diharapkan:     Pasien akan mempertahankan pola pernapasan efektif, tidak mengalami sesak napas/sianosis dengan bunyi napas dan sinar X bagian dada yang bersih.
Rencana tindakan :
1)      Auskultasi bunyi napas, tandai daerah paru yang mengalami penurunan/kehilangan fentilasi dan munculnya bunyi tambahan.
R/    Memperkirakan adanya perkembangan komplikasi/ infeksi pernapasan.
2)      Catat kecepatan/kedalaman pernapasan, sianosis, penggunaan otot aksesori dan dispnea.
R/    Merupakan tanda kesulitan pernapasan dan adanya kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan.
3)      Tinggikan kepala tempat tidur ; usahakan pasien untuk berbalik, batuk, menarik napas sesuai kebutuhan.
R/    Meningkatkan fungsi pernapasan yang optimal dan mengurangi aspirasi atau infeksi yang ditimbulkan karena atelektasis.
4)      Hisap jalan napas sesuai kebutuhan, gunakan teknik steril dan lakukan tindakan pencegahan.
R/    Membantu membershkan jalan napas, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran gas dan mencegah komplikasi pernapasan

5)      Kaji perubahan tingkat kesadaran.
R/    Hipoksemia dapat terjadi akibat adanya perubahan tingkat kesadaran mulai dari ansietas dan kekacauan menta sampai kondisi tidak responsif.
6)      Selidiki keluhan nyeri dada.
R/    Nyeri dada pleuritis dapat menggambarkan adanya neumonia nonspesifik atau efusi pleura berkenaan dengan keganasan.
7)      Beri periode istirahat yang cukup diantara waktu aktivitas perawatan.
R/    Menurunkan konsumsi O2
8)      Kolaborasi pantau pemeriksaan GDA/Nadi oksimetri
R/    Menunjukan status pernapasan, kebutuhan perawatan/ keefektifan pengobatan.
9)      Kolaborasi tinjau ulang sinar X dada.
R/    Adanya infiltrasi meluas memungkinkan terjadinya pneumonia atau PCP.
10)  Kolaborasi beri tambahan O2 yang dilembabkan melalui yang sesuai.
R/    Mempertahankan ventilasi/oksigenasi efektif untuk mencegah/memperbaiki krisis pernapasan.
11)  Kolaborasi beri obat-obatan sesuai indikasi.
R/    Pilihan terapi tergantung pada situasi individu.
d.      Diagnosa IV :
Resiko tinggi terhadap perubahan faktor pembekuan akibat cedera berhubungan dengan penurunan absorpsi vitamin K, perubahan pada fungsi hepar.
Hasil yang diharapkan :   Pasien akan menunjukan homeostasis yang ditunjukan dengan tidak adanya perdarahan mukosa dan bebas dari ekimosis.  
Rencana tindakan :
1)      Lakukan pemeriksaan darah pada cairan tubuh untuk mengetahui adanya darah pada urine, dan cairan muntah.
R/    Mempercepat deteksi adanya perdarahan/penentuan awal dari terapi mungkin dapat mencegah perdarahan kritis.
2)      Amati epistaksis, hemoptisis, hematurial, perdarahan vaginal non-menstruasi atau pengeluaran darah melalui lesi/orifisium tubuh/daerah penusukan terapi IV.
R/    Perdarahan spontan mengindikasikan perkembangan KID atau trombositokenia imun.
3)      Pantau perubahan tanda-tanda vital dan warna kulit.
R/    Timbulnya perdarahan/hemoragi dapat menunjukan kegagalan sirkulasi/syok.
4)      Pantau perubahan tingkat kesadaran dan gangguan penglihatan.
R/    Perubahan kesadaran dapat menunjukan adanya perdarahan otak.
5)      Hindari injeksi IM, pengukuran suhu rektal.
R/    Melindungi pasien dari prosedur berkenaan dengan penyebab perdarahan.
6)      Pertahankan istirahat di tempat tidur/kursi bila trombosit di bawah 10.000.
R/    Mengurangi kemungkinan cedera, meskipun aktivitas harus tetap dipertahankan.
7)      Kolaborasi pemeriksaan laboratorium (PT, PTT, LED, Trombosit, Hb/Ht).
R/    Mendeteksi ganguan kemampuan pembekuan.
8)      Kolaborasi berikan produk darah sesuai indikasi.
R/    Transfusi mungkin diperlukan pada waktu terjadi perdarahan terus menerus.
9)      Hindari penggunaan produk Aspirin.
R/    Mengurangi agregasi trombosif, ketidakseimbangan/ perpanjangan proses koagulasi.
e.       Diagnosa V :
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna, mengunyah, dan nutrisi metabolisme.
Kemungkinan dibuktikan oleh : Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan, menurunnya napsu makan, perubahan indra pengecap, kejang perut, bising usus diperaktif, diare, luka/peradangan rongga bukal
Hasil yang diharapkan :       Pasien akan mempertahankan berat badan atau memperlihatkan peningkatan berat badan yang mengacu pada tujuan yang diinginkan, mendemonstrasikan keseimbangan nitrogen positif, bebas dari tanda-tanda malnutrisi dan menunjukan perbaikan tingkat energi. 
Rencana tindakan :
1)      Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan.
R/    Lesi mulut, tenggorok dan esofagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien untuk mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.

2)      Auskultasi bising usus
R/    Hipermotilitas saluran intestinal umum terjadi dan dihubungkan dengan muntah dan diare.
3)      Timbang berat badan sesuai kebutuhan.
R/    Indikator kebutuhan nutrisi/pemasukan yang adekuat.
4)      Hilangkan perangsangan lingkungan yang berbahaya atau kondisi yang memperburuk refleks gag.
R/    Mengurangi stimulus pusat muntah di medula.
5)      Beri perawatan mulut terus menerus, awasi tindakan pencegahan sekresi.
R/    Mengurangi ketidak nyamanan dan meningkatkan napsu makan.  
6)      Rencanakan diet dengan pasien/orang terdekatnya.
R/    Melibatkan pasien dalam rencana memberikan perasaan kontrol lingkungan dan mungkin meningkatkan pemasukan.
7)      Kaji obat-obatan terhadap efek samping nutrisi.
R/    Profilaktik dan obat-obatan terapeutik mungkin memiliki efek samping nutrisi.
8)      Batasi makanan yang menyebabkan mual/muntah.
R/    Rasa sakit pada mulut atau ketakutan akan mengiritasi lesi mulut akan menyebabkan pasien enggan makan.
9)      Jadwalkan obat-obatan diantara makan dan batasi pemasukan cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki nilai gizi.
R/    Lambung yang penuh akan mengurangi napsu makan dan pemasukan makanan.
10)  Beri fase istirahat sebelum makan.
R/    Mengurangi rasa lelah.

11)  Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan.
R/    Mempermudah proses menelan dan mengurangi resiko aspirasi.
12)  Catat pemasukan kalori.
R/    Mengidentifikasi kebutuhan terhadap suplemen atau alternatif metode pemberian makanan.
13)  Kolaborasi tinjau ulang pemeriksaan Laboratorium (BUN, glukosa, fungsi hepar, elektrolit, protein dan albumin.
R/    Mengindikasikan status nutrisi dan fungsi organ.
14)  Kolaborasi pemasangan NGT sesuai indikasi.
R/    Diperlukan untuk mengurangi mual/muntah atau untuk pemberian makanan perselang.
15)  Konsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/gizi.
R/    Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat.
16)  Kolaborasi beri obat-obatan sesuai petunjuk.
R/    Mengurangi insiden muntah, meningkatkan fungsi gaster, meningkatkan absorpsi dalam sistem gastrointestinal.
f.       Diagnosa VI :
Nyeri (Akut/Kronis) berhubungan dengan inflamasi, neoropati perifer, mialgia dan kejang abdomen.
Kemungkinan dibuktikan oleh : adanya keluhan nyeri, befokus pada diri sendiri; perilaku melindungi, perubahan pada denyut nadi, respon autonomik, gelisah.

Hasil yang diharapkan :       pasien akan mengontrol rasa sakitnya, tidak ada keluhan, menunjukan ekspresi wajah rilek, dapat tidur/ beristirahat.
Rencana tindakan :
1)      Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (Skala 1-10), frekuensi, waktu. Menandai gejala non-verbal misalnya gelisah, takikardia, meringis.
R/    Mengindikasikan kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda perkembangan/resolusi komplikasi.
2)      Dorong pengungkapan perasaan.
R/    Dapat mengurangi ansietas dan rasa takut, sehingga mengurangi persepsi akan intensitas rasa sakit.
3)      Berikan atifitas hiburan.
R/    Memfokuskan kembali perhatian; mungkin dapat meningkatkan kemampuan untuk menanggulangi.
4)      Lakukan tindakan paliatif.
R/    Meningkatkan relaksasi/menurunkan tengangan otot. 
5)      Beri kompres hangat/lembab pada sisi injeksi pentamidin/IV selama 20 menit setelah pemberian.
R/    Injeksi ini diketahui sebagai penyebab rasa sakit dan abses steril.
6)      Instruksikan pasien untuk menggunakan visualisasi/ bimbingan imajinasi, relaksasi progresif, teknik napas dalam.
R/    Meningkatkan relaksasi dan perasaan sehat.  
7)      Kolaborasi beri analgesik/antipiretik sesuai indikasi.
R/    Memberikan penurunan nyeri/tidak nyaman dan mengurangi demam

g.      Diagnosa VII :
Aktual dan atau resiko tinggi terhadapa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan defisit imunologis, malnutrisi.
Kemungkinan dibuktikan oleh :      lesi kulit, ulserasi, formasi ulkus dekubitus
Hasil yang diharapkan :       Pasien akan menunjukan tingkah laku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit/ meningkatkan kesembuhan, menunjukkan kemajuan pada luka/ penyembuhan lesi.
Rencana tindakan :
1)      Kaji kulit setiap hari, catat warna, turgor, sirkulasi dan sensasi.
R/    Menentukan garis dasar dimana perubahan pada stakus dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
2)      Pertahankan higiene kulit.
R/    Mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.  
3)      Ubah posisi secara teratur, ganti seprei sesuai kebutuhan dan lindungi penonjolan tulang dengan bantal
R/    Mengurangi stres pada titik tekanan, meningkatkan aliran darah ke jaringan dan meningkatkan proses kesembuhan.
4)      Dorong untuk ambulansi.
R/    Menurunkan tekanan pada kulit dari istirahat lama di tempat tidur.
5)      Bersikan area perianal dengan menggunakan air dan air mineral.
R/    Mencegah maserasi yang disesbabkan oleh diare dan menjaga agar lesi perianal tetap kering.
6)      Gunting kuku secara teratur.
R/    Kuku yang panjang/kasar meningkatkan resiko kerusakan dermal.
7)       Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril.
R/    Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
8)      Kolaborasi beri matras atau tempat tidur busa.
R/    Menurunkan iskemia jaringan, mengurangi tekanan pada kulit, jaringan dan lesi.
9)      Kolaborasi beri obat-obatan topikal/sistemik sesuai indikasi.
R/    Digunakan pada perawatan lesi kulit.
h.      Diagnosa VIII :
Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan defisit imunologis dan kesehatan oral tidak efektif.
Kemungkinan dibuktikan oleh : Lesi ulkus terbuka, vesikel, rasa sakit atau tidak nyaman pada bagian oral, stomatitis (leukoplakia, gingivitis, karies gigi). 
Hasil yang diharapkan : Pasien akan menunjukan membran mukosa utuh, berwarna mera jambu, basah dan bebas dari inflamasi/ ulserasi, menunjkan teknik memperbaiki keutuhan mukosa oral .

Rencana tindakan :
1)      Kaji membran mukosa/catat seluruh lesi oral.
R/    Edema, lesi, membran mukosa oral dan tenggorok kering menyebabkan rasa sakit dan sulit mengunyah/ menelan.
2)      Berikan perawatan oral setiap hari dan setelah makan.
R/    Mengurangi rasa tidak nyaman, meningkatkan rasa sehat dan mencegah pembentukan asam yang dikaitkan dengan partikel makanan yang tertinggal.
3)      Cuci lesi mukosa oral dengan menggunakan hidrogen peroksida/salin atau larutan soda kue.
R/    Mengurangi penyebaran lesi dan krustasi dari kandidiasis dan meningkatkan kenyamanan.
4)      Anjurkan mengunyah permen karet/permen tidak mengandung gula.
R/    Merangsang saliva untuk menetralkan asam dan melindungi membran mukosa.
5)      Rencanakan diet untuk menghindari garam, pedas dan makanan/minuman asam.
R/    Makanan yang pedas akan membuka lesi yang telah disembuhkan.
6)      Dorong pemasukan oral sedikitnya 2.500 ml/hari.
R/    Mempertahankan hidrasi, mencegah pengeringan rongga mulut.
7)      Dorong pasien untuk tidak merokok
R/    Rokok akan mengeringkan dan mengiritasi membran mukosa.
8)      Kolaborasi dapatkan spesimen kultur lesi.
R/    Menunjukan agen penyebab dan mengidentifikasi terapi yang sesuai. 
9)      Kolaborasi beri obat-obatan sesuai petunjuk.
R/    Obat khusus pilihan tergantung pada organisme infeksi.
i.        Diagnosa IX :
Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolisme, tuntutan psikologis/emosional berlebihan dan efek samping obat-obatan.
Kemungkinan dibuktikan oleh : Kekurangan energi yang tidak berubah/ berlebihan, ketidakmampuan untuk mempertahankan rutinitas sehari-hari, penurunan penampilan, ketidakseimbangan kemampuan untuk berkonsentrasi, kelesuan/tanpa gairah, tidak berhasrat terhadap lingkungan.
Hasil yang diharapkan : Pasien akan melaporkan peningkatan energi, melaksanakan AKS, berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan pada tingkat kemampuannya.
Rencana tindakan :
1)      Kaji pola tidur dan catat perubahan dalam proses berpikir/ prilaku.
R/    Berbagai faktor dapat meningkatkan kelelahan termasuk kurang tidur, penyakit SSP, tekanan emosi dan efek samping obat-obatan.
2)      Rencanakan perawatan untuk menyediakan fase istirahat.
R/    Periode istirahat yang sering sangat dibutuhkan dalam memperbaiki/menghemat energi.

3)      Tetapkan keberhasilan aktivitas yang realistis dengan pasien.
R/    Mengusahakan kontrol diri dan perasaan berhasil serta mencegah timbulnya perasaan frustasi akibat kelelahan.
4)      Bantu memenuhi kebutuhan perawatan pribadi.
R/    Rasa lemas dapat membuat AKS hampir tidak mungkin bagi pasien untuk menyelesaikannya. 
5)      Dorong pasien untuk melakukan apapun yang mungkin.
R/    Memungkinkan penghematan energi, peningkatan stamina dan mengijinkan pasien untuk lebih aktif tanpa menyebabkan kepenatan dan rasa frustasi.
6)      Pantau respon psikologis terhadap aktivitas.
R/    Toleransi bervariasi tergantung pada status proses penyakit, status nutrisi, keseimbangan cairan dan jumlahnya penyakit dimana pasien menjadi subyeknya.
7)      Dorong masukan nutrisi.
R/    Pemasukan/penggunaan nutrisi adekuat sangat penting bagi kebutuhan energi untuk aktivitas.
8)      Kolaborasi berikan O tambahan sesuai petunjuk.
R/    Adanya anemia/hipoksemia mengurangi persediaan O2 untuk ambilan seluler dan menunjang kelelahan.
9)      Kolaborasi rujuk pada terapi fisik/okupasi.
R/    Latihan setiap hari terprogram dan aktivitas yang membantu pasien mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan tonus otot, meningkatkan rasa sejahtera.

j.        Diagnosa X :
Perubahan proses pikir berhubungan dengan hipoksemia, infeksi SSP, malignansi otak, dan perubahan metabolisme
Kemungkinan dibuktikan oleh :      Perubahan lapang perhatian, distraktibilitas, defisit memori, disorientasi, disonansi kognitif, berpikir delusional, gangguan tidur, kerusakan kemampuan untuk mengambil keputusan/memecahkan masalah, ketidakmampuan mengikuti perintah, kehilangan kontrol impuls
Hasil yang diharapkan :       Pasien akan mempertahankan orientasi realita umum dan fungsi kognitif optimal
Rencana tindakan :
1)      Kaji status mental dan neurologis dengan menggunakan alat yang sesuai.
R/    Menetapkan tingkat fungsional pada waktu penerimaan dan mewaspadakan perawat  pada perubahan status yang sapat dihubungkan dengan infeksi/kemungkinan penyakit SSP.
2)      Pertimbangkan efek dari tekanan emosional
R/    Dapat menunjang penurunan kewaspadaan, kekacauan mental, menarik diri, hipo aktivitas dan kebutuhan lebih lanjut akan evaluasi dan intervensi.
3)      Baca aturan penggunaan obat-obatan.
R/    Aksi dan interaksi dari berbagai obat-obatan akan memperpanjang obat-obat penyambung hidup, mengakibatkan efek kumulatif dan resiko potensial dari reaksi toksisitas
4)      Pantau adanya tanda-tanda adanya infeksi SSP.
R/    Gejala SSP dihubungkan dengan meningitis/ensefalitis diseminata mungkin memiliki jangkauan dari perubahan kepribadian yang tidak kelihatan sampai kekacauan mental.
5)      Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dengan perangsangan auditoriuas, visual dan kognitif yang tepat.
R/    Memberikan rangsangan lingkungan normal akan membantu dalam mempertahankan orientasi realitas.
6)      Berikan isyarat untuk reorientasi.
R/    Reorientasi sering terhadap tempat dan waktu mungkin diperlukan, tertutama selama terjadi demam hebat/akut yang melibatkan SSP.
7)      Diskusikan penggunaan buku data, daftar, perlengkapan untuk tetap berada pada jalur aktivitas.
R/    Teknik-teknik ini akan membantu pasien mengatasi masalah pelupa.
8)      Dorong keluarga/orang terdekat untuk bersosialisasi dan berikan reorientasi dengan berita aktual.
R/    Hubungan yang biasa sering kali akan berguna dalam membantu mempertahankan orientasi realita
9)      Dorong pasien melakukan kegiatan sebanyak mungkin.
R/    Membantu mempertahankan kemampuan mental untuk periode yang panjang.
10)  Berikan bantuan untuk orang terdekat; diskusikan masalah perhatian/rasa takut.
R/    Perilaku aneh/penyimpangan kemampuan mungkin sangat menakutkan bagi orang terdekat dan mempersulit penatalaksanaan keperawatan/situasi.

11)  Kurangi rangsang provokatif/mencemaskan.
R/    Jika pasien memiliki kecenderungan agitasi, ada perilaku bermusuhan atau menyerang, maka pengurangan rangsangan eksternal mungkin akan berguna.
12)  Kurangi kebisingan terutama pada malam hari.
R/    Meningkatkan waktu tidur, mengurangi gejala kognitif dan kurang tidur.
13)  Diskusikan penyebab/harapan dimasa depan dan perawatan jika dimensia telah terdiagnosa.
R/    Mendapatkan informasi bahwa AZT telah muncul untuk memperbaiki kognisi dapat memberikan harapan dan kontrol terhadap kehilangan
14)  Kolaborasi pemeriksaan diagnostik (MRI, Scan CT, Pungsi Spinal, Pemantauan pemeriksaan Lab. Sesuai petunjuk)
R/    Pilihan tes atau pemeriksaan tergantung pada manifestasi klinis dan indeks kecurigaan saesuai dengan perubahan status mental.
15)  Kolaborasi beri obat-obatan antipsikotik dan antiansietas sesuai indikasi.
R/    Penggunaan dengan waspada membantu mengatasi manifestasi.
16)  Rujuk pada konseling sesuai petunjuk
R/    Membantu pasien meningkatkan kontrol terhadap timbulnya gangguan berpikir atau simtomatologi psikotik

k.      Diagnosa XI :
Ansietas/Ketakutan berhubungan dengan ancaman pada konsep pribadi, pemisahan dari sistem pendukung, ketakutan akan pengeluaran penyakit pada keluarga yang dicintai.
Kemungkinan dibuktikan oleh : Peningkatan tegangan, ketakutan, perasaan tidak berdaya/putus asa, menunjukan masalah yang berhubungan dengan perubahan pada kehidupan, ketakutan akan konsekuensi yang tidak spesifik, keluhan somatik, insomnia, stimulasi simpatis, gelisah.
Hasil yang diharapkan :       Pasien akan menyatakan kesadaran tentang perasaan dan cara sehat untuk menghadapinya, menunjukan rentang normal dari perasaan dan berkurangnya rasa takut/ansietas, menunjukan kemampuan untuk mengatasi masalah, menggunakan sumber-sumber dengan efektif
Rencana tindakan :
1)      Jamin pasien tentanga kerahasiaan dalam batasan situasi tertentu
R/    Memberikan penentraman hati lebih lanjut dan kesempatan bagi pasien untuk memecahkan masalah pada situasi yang diantisipasi.

2)      Pertahankan hubungan yang sering dengan pasien, batasi penggunaan alat pelindung dan masker.
R/    Menjamin bahwa pasien tidak akan sendiri serta menunjukan rasa menghargai dan menerimanya,
3)      Beri informasi yang akurat dan konsisten mengenai progresi penyakit.
R/    Mengurangi ansietas dan ketidakmampuan pasien untuk membuat keputusan berdasarkan realita.
4)      Waspada terhadap tanda-tanda penolakan/depresi.
R/    Pasien mungkin akan menggunakan mekanisme bertahan dengan penolakan yang terus berharap bahwa diagnosanya tidak akurat.
5)      Beri lingkungan terbuka dimana pasien akan merasa bebas untuk mendiskusikan perasaan.
R/    Membantu pasien untuk merasa diterima pada kondisi sekarang tanpa perasaan dihakimi
6)      Sarankan pasien untuk mengekspresikan rasa marah, takut, putus asa tanpa konfrontasi.
R/    Penerimaan perasaan akan membuat pasien akan menerima situasi.
7)      Kenali dan dukung tahap pasien/keluarga pada proses berduka.
R/    Pilihan intervensi ditentukan oleh tahap berduka.
8)      Jelaskan prosedur, berikan kesempatan untuk bertanya dan jawab dengan jujur.
R/    Informasi yang akurat akan membuat pasien dapat lebih efektif dalam meghadapi realita situasi sehingga megurangi ansietas.

9)      Identivikasi dan dorong interaksi pasien dengan sistem pendukung
R/    Mengurangi perasaan terisolasi.
10)  Libatkan orang terdekat sesuai petunjuk pada pengambilan keputusan yang bersifat mayor.
R/    Menjamin adanya sistem pendukung bagi pasien
11)  Kolaborasi rujuk pada konseling psikiatri.
R/    Diperlukan bantuan lebih lanjut dalam berhadapan dengan diagnosa tertentu terutama jika timbul pikiran bunuh diri.
l.        Diagnosa XII :
Isolasi sosial berhubungan dengan persepsi tentang tidak diterima dalam masyarakat, sumber-sumber pribadi tidak adekuat/sistem pendukung.
Kemungkinan dibuktikan oleh : Menunjukan perasaan kesepian, perasaan ditolak, tidak adanya dukungan terdekat.
Hasil yang diharapkan :          Menunjukan peningkatan perasaan harga diri, berpartisipasi dalam aktivitas.
Rencana tindakan :
1)      Tentukan resepsi pasien tentang situasi.
R/    Isolasi sebagian dapat mempengaruhi diri saat pasien takut penolakan/reaksi orang lain.
2)      Beri waktu untuk berbicara dengan pasien selama dan diantara aktivitas perawatan.
R/    Pasien mungkin akan mengalami isolasi fisik.

3)      Batasi penggunaan masker dan alat pengaman lainnya jika memungkinkan.
R/    Mengurangi perasaan pasien akan isolasi fisik dan menetapkan hubungan sosial yang positif.
4)      Identifikasi sistem pendukung yang tersedia bagi pasien.
R/    Jika pasien mendapat bantuan dari orang terdekat, perasaan kesepian dan ditolak akan berkurang
5)      Jelaskan prosedur/petunjuk isolasi pada pasien/orang terdekat.
R/    Penjelasan akan membantu pasien untuk memahami alasan-alasan prosedur dan mempersiapkan perasaan termasuk mengenai apa yang terjadi.
6)      Sarankan adanya hubungan yang aktif dengan orang terdekat.
R/    Membantu memantapkan partisipasi pada hubungan sosial
7)      Waspadai gejala verbal/nonverbal.
R/    Indikasi bahwa putus asa dan ide untuk bunuh diri sering muncul.
8)      Kolaborasi rujuk pada sumber-sumber pelayanan sosial.
R/    Mengadakan sistem pendukung dan mengurangi perasaan terisolasi

m.    Diagnosa XIII :
Ketidakberdayaan berhubungan dengan konfirmasi diagnosa sakit terminal
Kemungkinan dibuktikan oleh : Perasaan hilangnya kontrol terhadap kehidupan pribadi, depresi pada penyimpangan fisik yang terjadi meskipun pasien mentaati aturan, rasa marah, apatis, menarik diri, bergantung pada orang lain yang menyebabkan timbulnya rasa benci, marah dan rasa bersalah.
Hasil yang diharapkan : Menyatakan perasaan dan cara yang sehat untuk berhubungan dengan mereka, mengungkapkan rasa kontrol terhadap situasi, membuat keputusan yang berhubungan dengan perawatan dan ikut serta dalam perawatan diri
Rencana tindakan :
1)      Identifikasi faktor yang berhubungan dengan perasaan tidak berdaya
R/    Para penderita umumnya menyadari literatur dan prognosis terbaru.
2)      Kaji tingkat perasaan tidak berdaya (perhatikan ekspresi verbal dan nonverbal)
R/    Menentukan status individual pasien dan mengusahakan intervensi yang sesuai pada waktu pasien imobilisasi karena perasaan depresi.
3)      Dorong peran aktif pada perencanaan akitivitas, menetapkan keberhasilan harian yang realistis
R/    Memungkinkan peningkatan perasaan kontrol dan menghargai diri sendiri dan tanggungjawab diri.
4)      Dorong harapan hidup dan kekuatan bertahan lama dari dokumen pengacara.
R/    Banyak faktor yang berkenaan dengan perawatan yang digunakan pada ketidakmampuan ini dan sering menempatkan proses penyakit fatal pasien di dalam kekuasaan personel medis.
n.      Diagnosa XIV :
Kurang pengetahauan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan denga kurang pemajanan, kesalahan interpretasi informasi dan keterbatasan kognitif
Kemungkinan dibuktikan oleh : Pertanyaan atau permintaan informasi, pernyataan salah konsepsi, tidak tepat mengikuti instruksi/terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.
Hasil yang diharapkan : Mengungkapkan pemahamannya tentang kondisi/proses dan perawatan dari penyakit tersebut, mengidentifikasi hubungan antara tanda-tanda/gejala-gejala pada proses penyakit, menunjukan prosedur yang diperlukan dengan tepat dan menjelaskan alasan suatu tindakan, memulai perubahan gaya hidup yang perlu dan ikut serta dalam aturan perawatan.
Rencana tindakan :
1)      Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.
R/    Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
2)      Kaji tingkat ketergantungan dan kondisi fisik
R/    Membantu merencanakan jumlah perawatan dan kebutuhan penatalaksanaan gejala.
3)      Tinjau ulang cara penularan penyakit.
R/    Mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan keamanan bagi pasien/orang lain.
4)      Instruksikan pasien dan beri perawatan mengenai kontrol infeksi.
R/    Mengurangi penularan penyakit.
5)      Perhatikan bahwa pasien/orang terdekat dapat menunjukan perawatan oral dan gigi yang baik.
R/    Mukosa oral dapat dengan cepat menunjukan komplikasi hebat dan progrese.
6)      Tinjau ulang kebutuhan diet.
R/    Meningkatkan nutrisi adekuat.
7)      Diskusikan aturan obat-obatan, interaksi dan efek samping.
R/    Meningkatkan kerja sama demi suksesnya terapi.
8)      Berikan informasi mengenai penatalaksanaan gejala yang melengkapi aturan medis.
R/    Memberi pasien peningkatan kontrol, mengurangi resiko rasa malu.
9)      Tekankan pentingnya istrahat adekuat.
R/    Mencegah atau mengurangi kepenatan/meningkatkan kemampuan.

10)  Dorong aktivitas pada tingkat yang dapat ditoleransi.
R/    Merangsang pelepasan endorfin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
11)  Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi.
R/    Memberi kesempatan untuk mengubah aturan dan memenuhi kebutuhan perubahan.
12)  Anjurkan penghentian merokok.
R/    Merokok akan meningkatkan resiko infeksi pernapasan dan dapat menyebabkan ketidakseimbangan sistem imun.
13)  Identifikasi tanda dan gejala yang membutuhkan evalusi medis.
R/    Pengenalan awal akan perkembangan komplikasi dan intervensi yang tepat pada waktunya.
14)  Identifikasi sumber-sumber komunitas .
R/    Memudahkan pemindahan dari lingkungan perawatan dan mendukung pemulihan serta kemandirian pasien.
(Doenges, 1999 : 838-858)
4.       Pelaksanaan Rencana Keperawatan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. Rencana tindakan keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik, jika klien mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan tindakan keperawatan. Selama tahap pelaksanaan, perawat terus melakukan pengumpulan data dan memilih tindakan keperawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan klien. Semua tindakan keperawatan dicatat ke dalam format yang telah ditetapkan oleh institusi. (Nursalam, 2001 : 63).

5.       Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan sebera jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor “kealpaan” yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa, perencanaan dan pelaksanaan tindakan.
(Nursalam, 2001 :71).


DAFTAR PUSTAKA

Asih Ni Luh G. Yasmin, 1996, Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan  Gangguan Sistem Persyarafan, EGC, Jakarta. 

Brunner & Suddarth, 2001,  Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta. 

Doenges E. Marylin, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3, EGC,  Jakarta.

Hudak & Gallo, 1996

Mansjoer, Arif, dkk., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta.

Nursalam, 2001, Proses & Dokumentasi Keperawatan Konsep & Praktik, Salemba Medika, Jakarta. 

Sloane, Ethel, 2003, Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula, EGC, Jakarta. 

Smeltzer, Suzanne, C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddart, EGC, Jakarta. 


http://medlinux.blogspot.com/2007/11/cedera-kepala.html,rabu tanggal 16 Desember 2009 Pukul 16.16 WITA.

http://www.sjaksoft .net/index.php? option=com content&task, hari haru tanggal 16 Desember 2009 Pukul 16.30 WITA. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar