BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dewasa ini, dunia tengah mengalami suatu pandemi
virus HIV. Pandemi ini melahirkan beragam masalah baik di bidang medis maupun
sosial, ekonomi bahkan politik. Mengapa? Selain karena perjalanan alamiah
penyakit yang belum diketahui dengan pasti,juga dikarenakan masalah ini timbul
berkelanjutan dalam tiga aspek epidemi,yaitu : silent epidemic,epidemi
munculnya AIDS dan epidemi reaksi masyarakat. Pada silent epidemic,resiko
penularan sangat tinggi karena tak menunjukkan manifestasi klinis sehingga
penderita dan masyarakat tidak tahu bahwa ada masalah kesehatan yang sedang
terjadi. Pada epidemi yang kedua,penderita dapat mengalami beragam masalah
kesehatan seperti infeksi oportunistik,neoplasma akibat defisiensi imun dan dapat
berujung kematian. Sedangkan pada epidemi ketiga,timbulnya reaksi masyarakat
dapat melahirkan masalah-masalah sosial seperti adanya kecurigaan dan
diskriminasi yang berarti yang berdampak pada terciptanya isolasi sosial.
Angka kejadian di dunia hingga akhir tahun 2000
adalah 36, 1 juta orang dan 70%nya berada di Afrika Sub Sahara. Dari 36,1 juta kasus,16,4 juta adalah perempuan
dan 600.000 adalah anak-anak berusia kurang dari 11 tahun. Infeksi HIV telah
menyebabkan kematian pada 21,8 juta orang sejak akhir tahun 1970-an sampai awal
1980-an. Di Asia Selatan dan Tenggara diperkirakan 5,8 juta orang hidup dengan
HIV-AIDS pada periode yang sama(Price & Wilson,2005:225). Di
Indonesia,prevalensi kasus ini terus mengalami peningkatan. Menurut catatan
Departemen Kesehatan RI, hingga akhir juni 2005 tercatat 3358 orang, perempuan
2762 orang,laki-laki 546,waria 50 orang yang terinfeksi HIV-AIDS dan meninggal
828 orang . Prevalensi kasus tertinggi ada pada propinsi Papua yaitu 26,65%
dari jumlah keseluruhan. Sementara di Propisi NTT berjumlah 42 orang(0,76%).
AIDS(Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah
suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi
imun yang berat dan merupakan manifestasi stadium akhir infeksi HIV(Merati,
2001:543). Penyebab utamanya adalah
retrovirus RNA HIV (Price & Wilson, 2005:241). Penularannya melalui
hubungan seksual (homoseksual dan heteroseksual), tranfusi darah yang
terinfeksi HIV, penyalahgunaan obat terlarang per IV dan secara vertikal dari
ibu ke bayinya. Target utama virus ini adalah reseptor CD4+ yang terdapat di
membran sel T penolong. Virus ini masuk ke sel T penolong melalui perlengketan
gp 120 ke reseptor sel T dan CD4+ bersama salah satu koreseptor kemokin, kemudian
mengambil alih metabolisme sel untuk mensintesis virus baru. Setelah berada
dalam sel,virus melakukan transkripsi dan digabungkan dalam bahan genetik sel
sasaran. Tanda utama infeksi HIV adalah deplesi progresif sel-sel CD4+ termasuk
sel T penolong dan makrofag. Bila terjadi deplesi sistem imun, maka penderita akan rentan terhadap beragam
infeksi oleh agen-agen infeksiosa. Waktu median dari serokonversi sampai
kematian akibat penyakit AIDS adalah sekitar 11 tahun(Price &
Wilson,2000:242).
Menurut data yang diperoleh dari rekam medik keperawatan
Rumah Sakit Umum Daerah Atambua pada 3 tahun terakhir ini tercatat 161 pasien
HIV-AIDS. Perincian sebagai berikut : tahun 2007 : 33 orang (20,49%), laki-laki
24 orang, perempuan 9 orang dan meninggal 2 orang. Tahun 2008 : 56 orang
(34,7%), laki-laki 25 orang, perempuan 31 orang dan meninggal 7 orang. Tahun
2009 sebanyak 72 orang (44,72%), laki-laki 46 orang, perempuan 26 orang dan
meninggal 1 orang. Berdasarkan uraian di atas dan melihat prevalensi kasus yang
tinggi, penulis tertarik melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medik HIV-AIDS melalui
pendekatan proses keperawatan di ruang perawatan khusus Rumah Sakit Umum Daerah
Atambua.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengembangkan pola pikir ilmiah dalam
memberikan asuhan keperawatan dengan metode pendekatan proses keperawatan pada
pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
2. Tujuan Khusus
a.
Memperoleh
pengalaman nyata dan mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan diagnosa
medik HIV-AIDS.
b.
Memperoleh
pengalaman nyata dan mampu merumuskan prioritas masalah dari masalah-masalah
keperawatan yang muncul pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
c.
Memperoleh
pengalaman nyata dan mampu merencanakan rencana keperawatan secara rasional
pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
d.
Memperoleh
pengalaman nyata dan mampu melakukan atau melaksanakan rencana tindakan yang
sudah direncanakan pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
e.
Memperoleh
pengalaman nyata dan mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah
diberikan pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
f.
Memperoleh
pengalaman nyata dan mampu mendokumentasikan tindakan keperawatan yang
diberikan pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
g.
Mampu
menilai kesenjangan antara teori dengan kasus nyata dan mencari alternatif
pemecahan masalah pada pasien dengan diagnosa medik HIV-AIDS.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Klien
Sebagai bahan tertulis yang
mengungkapkan bahwa klien telah menerima asuhan keperawatan yang merupakan
bantuan dalam pemecahan masalah kesehatan yang dialami klien.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber informasi dan
tolak ukur untuk menilai keberhasilan pendidikan ahli madya keperawatan.
3. Bagi Penulis
Menjadi bahan evaluasi yang
menilai kemampuan penerapan konsep keperawatan yang didapatkan selama proses
perkuliahan ke dalam kerja nyata di lahan praktek.
4. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan dalam
rangka meningkatkan penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa
medik cedera kepala berat dan sebagai bahan evaluasi dalam penanggulangan
masalah pasien.
E. Metode Penulisan
Dalam menyelesaikan penulisan
ini, penulis menggunakan metode deskriptif yang dilakukan melalui :
1. Studi Kasus
Penulis melakukan asuhan keperawatan dengan
pendekatan proses keperawatan sejak pengambilan data melalui wawancara,
observasi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, catatan perawat dan
catatan medik, dilanjutkan dengan perumusan diagnosa keperawatan, kemudian
diimplementasikan, dievaluasi dan didokumentasikan.
2. Studi Kepustakaan
Diambil dari referensi-referensi dan
sumber-sumber yang berhubungan dengan materi HIV-AIDS.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Proposal ini
penulis menggunakan sistematika sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Memuat latar belakang
penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB
II : TINJAUAN
TEORITIS
Mencakup konsep dasar teori
yang terdiri dari anatomi fisiologi, pengertian, penyebab, patofisiologi,
manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan. Juga
memuat tentang konsep proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi dan evaluasi.
BAB
III : TINJAUAN KASUS
BAB
IV : PEMBAHASAN
BAB V
: KESIMPULAN DAN SARAN
BAB II
TINJAUAN
TEORITIS
A. Konsep Dasar
1.
Anatomi dan Fisiologi
Otak dilindungi
dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya. Tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki
lagi. Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan
fibrosa, padat dapat digerakan dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan
trauma eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan
lapisan membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek,
pembuluh-pembuluh ini sukar mengalami vasokonstriksi dan dapat menyebabkan
kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala.
Tepat dibawah galea terdapar ruang subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika.
Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam
tengkorak. Tulang tengkorak sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula
yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan
dinding dalam disebut tabula interna. Tabula
interna mengandung alur-alur yang berisikan arteria meningea anterior,
media dan posterior. Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga
lapisan meniges adalah duramater, araknoid, dan piamater (Price & Wilson,1999:1014-1015).
2.
Pengertian
Secara
harafiah, AIDS(Acquired Immune Deficiency Sindrome) dapat diartikan sebagai berikut
: Acquired (Didapat, Bukan penyakit keturunan), Immune (Sistem kekebalan tubuh), Deficiency (Kekurangan), Syndrome (Kumpulan gejala-gejala
penyakit). Jadi AIDS adalah kumpulan gejala-gejala penyakit yang didapat akibat
kekurangan sistem kekebalan tubuh.
AIDS diartikan sebagai : bentuk
paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi Human
Immunodefciency Virus( Suzane C. Smetzler dan Brenda G.Bare )
AIDS diartikan sebagai : bentuk
paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun
tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan
dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan
malignitas yang jarang terjadi ( Center for Disease Control and prevention).Prevention )
AIDS adalah : suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit dengan
karakteristik defisiensi imun yang berat dan merupakan manifestasi stadium
akhir infeksi HIV (Merati, 2001:543).
AIDS adalah : gangguan imunodefisiensi sekunder (Long, 1996:
572).
AIDS adalah : suatukumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir
dari infeksi oleh HIV (Price & Wilson, 2005:224).
3.
Penyebab
Penyebab dari AIDS adalah Retrovirus
(HIV) yang telah terisolasi dalam cairan tubuh orang yang terinfeksi, yaitu
darah, semen, sekresi vagina, ludah, air mata, air susu, CSF, cairan amnion dan
urin(Long,1996:572). HIV, yang dahulu disebut virus limfositik sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati
(LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. HIV-1
dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 yang menjadi penyebab utama
AIDS di seluruh dunia.Antara HIV-1 dan 2 intinya mirip, tetapi selubung luarnya
sangat berbeda.
Genom HIV mengode sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek
siklus hidup virus. Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan
yaitu bahwa protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya
diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infektivitas dan
merupakan duplikasi dari protein lain,Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan
transkripsi virus. HIV-2 yang pertama kali diketahui dalam serum dari para
perempuan Afrika Barat pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tetapi
tampaknya kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1(Price &
wilson,2005:224-225). HIV mempunyai ensim reverse transcriptase yang terdapat
di dalam inti HIV dan akan mengubah RNA virus menjadi DNA. Inti HIV merupakan
protein yang dikenal dengan p24, dan bagian luar HIV yang berupa selubung
gli9koprotein terdiri dariselubung transmembran gp 41 dan bagian luar berupa
tonjolan-tonjolan yang disebut gp 120. Gen yang selalu ada pada pada sruktur
genetik virus
HIV adalah gen untuk kode inti p24, dan gen yang mengkode opolimerase Rtase.
Sedangkan gen yang mengkode selubung luar akan sangat bervariasi dari satu
strain virus dengan yang lainnya (Slamet, 2001 :546).
4.
Patofisiologi
HIV dapat
diisolasi dari darah, cairan serobrospinalis, semen, air mata, sekresi vagina
atau serviks, urine, ASI dan air liur. Penularan terjadi paling efisien melalui
darah dan semen. Tiga cara utama penularan adalah kontak dengan darah, kontak
seksual dan kontak ibu-bayi. HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran
yang memiliki molekul reseptor membran CD4. Sasaran yang disukai HIV adalah limfosit
T penolong positif-CD4, atau sel T4 (Limfosit CD4+). gp 120 HIV berikatan kuat
dengan Limfosit CD4+ sehingga gp 41 dapat memerantai fusi membran virus ke
membran sel. Setelah terjadi fusi sel virus, RNA Virus masuk ke bagian tengah
sitoplasma Limfosit CD4. Terjadilah replikasi virus dan berlanjut sepanjang
periode latensi klinis. HIV secara terus-menerus terakumulasi dan bereplikasi
di organ-organ Limfoid. Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan
perlawanan imun yang intensif secara humoral maupun selular. Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah
sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV )
menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD4, dengan bagian
virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan
ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel
lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga
dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan
sel yang terinfeksi.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka
system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi
sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama
bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar
1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3
tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala
infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) muncul, Jumlah T4 kemudian
menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi.
Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila
jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi
opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS (Price, 2005:227-231).
5. Tanda dan Gejala
Pasien AIDS secara khas punya riwayat
gejala dan tanda penyakit. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
primer akut yang lamanya 1-2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan
disaat fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam,
keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam
kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.
Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi
AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah
Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu
protozoa, infeksi lain termasuk menibgitis, kandidiasis, cytomegalovirus,
mikrobakterial, atipikal
a.
Infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Acut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala
penyakit biasa seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit
kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak merah
ditubuh.
b.
Infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala
Diketahui
oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah akan
diperoleh hasil positif.
Radang
kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala pembengkakan
kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3 bulan.
6. Komplikasi
a. Oral
Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi,
HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV),
leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
b. Neurologik
kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung
Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi
social.
Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik,
hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis.
Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
Infark serebral kornea sifilis
meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.
Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh
serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV)
c. Gastrointestinal
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat
flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat
badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
Hepatitis karena bakteri dan virus,
limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah,
nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus
dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit
dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii,
cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek
nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks
dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuna, dan dekubitus
dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
f. Sensorik
Pandangan
: Sarkoma
Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pendengaran
: Otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek
nyeri.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. JDL : Anemia dan trombositopenia
idiopatik.
b. DSP : Leukopenia mungkin ada; pergeseran
diferensial ke kiri menunjukan proses infeksi(PCP); bergeser ke kanan dapat
terlihat. Pada infeksi tertentu, jumlah sel-T, tak ada pergeseran juga dapat
terjadi.
c. Panel Anergi : Anergi kutaneus(kurang
reaktivitas pada antigen dimana pasien telah mengetahuinya) adalah indikator
yang umum ditemukan pada depresi sel imunitas humoral.
d. Tes antibodi serum : skrining HIV dengan
ELISA. Hasil tes positif mungkin akan mengindikasikan adanya HIV tetapi bukan
merupakan diagnosa
e. Tes blot Western : mengkonfirmasikan
diagnosa HIV.
f. Sel T-Limfosit : penurunan jumlah total
g. Sel T4-helper : jumlah yang kurang dari 200
mengindikasikan respon defisiensi imun hebat.
h. T8 : Rasio terbalik (2:1 atau lebih besar)
dari sel supresor pada sel helper (T8 ke T4) mengindikasikan supresi imun.
i.
Protein
pembungkus HIV : Peningkatan nilai kuantitatif protein ini dapat
mengindikasikan progresi infeksi.
j.
Kadar
Ig : Umunya meningkat, terutama IgG dan IgA dengan IgM yang normal ataupun
mendekati normal
k. Reaksi rantai polimerase : mendeteksi
adanya DNA virus dalam jumlah yang sedikit pada infeksi sel perifer
monoselular.
l.
Infeksi
parasit dan protozoa : PCP kriptosporisiosis, toksoplasmosis.
m. Infeksi jamur : Candia albicans
(kandidiasis), kriptokokosis, histoplasmosis
n. Infeksi bakteri : TB mikobakterial milier,
Shigella, Salmonela
o. Infeksi viral : CVM, herpes simpleks,
herpes zoster
p. Pemeriksaan neurologis, mis EEG, MRI, Scan
CT Otak
q. Sinar x dada : mungkin normal pada awalnya
atau menyatakan perkembengan infiltrasi intertisial dari PCP dan bentuk-bentuk
pneumonia lainnya
r.
Biopsi
: dilakukan untuk diagnosa yang berbeda aru KS atau pun lesi neoplastik lainnya
(Doengoes, 1999 : 272).
8. Penatalaksanaan
a.
Penatalaksanaan Keperawatan
Belum ada penyembuhan untuk
AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk
mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan
:
1) Melakukan abstinensi seks /
melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi.
2) Memeriksa adanya virus
paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.
3) Menggunakan pelindung jika
berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus
(HIV) nya.
4) Tidak bertukar jarum
suntik,jarum tato, dan sebagainya.
5) Mencegah infeksi ke janin /
bayi baru lahir.
6) Pendidikan untuk menghindari
alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat, hindari stress, gizi yang
kurang, alkohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
7) Menghindari infeksi lain,
karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat Replikasi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
b. Penatalaksanaan Medis
Apabila terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu :
1) Pengendalian Infeksi
Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan,
dan pemulihan infeksi opurtunistik, nosokomial, atau sepsis. Tidakan
pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan
komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan
perawatan kritis.
2) Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk
penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat
replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim
pembalik traskriptase. AZT
tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang,
AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif
asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
3) Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang
meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus /
memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah : Didanosine,
Ribavirin, Diedoxycytidine, Recombinant CD 4 dapat larut
4) Vaksin dan Rekonstruksi
Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin
dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan
kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
B.
Konsep Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan
menganalisa sehingga dapat diketahui masalah-masalah dan kebutuhan keperawatan
seorang pasien
Langkah-langkah
pengkajian
a. Identitas Pasien dan Keluarga
Pengumpulan data pasien baik
subjektif atau objektif pada nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,
status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan
penanggungjawab dan lain-lain.
b. Riwayat kesehatan
Pada
umumnya pasien dengan trauma kepala datang ke rumah sakit dengan penurunan
kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah, dispea/takipnea, sakit kepala,
wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparalise, luka kepala, akumulasi
sputum pada saluran napas, adanya upuor
dari hidung, telinga dan adanya kejang. Penyakit kesehatan keluarga, terutama
yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dan
pasien atau keluarga sebagai data subjektif.
c. Pemeriksaan fisik
Aspek
neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15,
disorientasi oral, tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau dekortikasi
dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk brudzinski positif, adanya hemiparese.
Pada pasien
sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai rangsangan rasa, raba, suhu, dan
getaran. Terjadi gerakan-gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena
gangguan koordinasi. Pasien juga dapat mengingat kejadian sebelum dan sesudah
trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau
tidak mempertahankan keseimbangan tubuh.
Nervus
cranial dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena
edema otak atau perdarahan otak. Aspek kardiofaskuler didapat perubahan tekanan
darah, nadi. Aspek pernapasan terjadi perubahan pola napas baik irama,
kedalaman maupun frekuensi.
Peningkatan
suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan terhadap
hipotalamus sebagai pusat pengaturan suhu tubuh. Aspek eliminasi, akan didapat
inkontimensia / distensi dalam hal buang air besar atau kecil.
Pengkajian
lain yang diperlukan dalam pemberian asuhan keperawatan adalah : adanya perdarahan atau cairan yang
keluar dari mulut, hidung, telinga dan mata. Adanya hiperekskresi pada rongga
mulut, adanya perdarahan terbuka / hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini
perlu dikaji dari kepala hingga kaki.
Hal lain yang
diperlukan pula adalah pengkajian psikologis. Dimana ada pasien dengan tingkat
kesadarannya yang menurun, maka untuk data psikologisnya tidak dapat dinilai,
sedangkan pada pasien yang tidak kesadarannya agak normal akan terlihat adanya
gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabilitas, apatis,
delirium dan kebingungan. Keluarga pasien dapat mengalami kecemasan, sehubungan
dengan penyakitnya.
Data sosial
yang diperlukan adanya bagaimana pasien berhubungan dengan orang terdekat dan
lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta pandangan
pasien terhadap dirinya setelah mengalami trauma dan rasa aman. Adapun data
spiritual yang diperlukan adalah ketaatan terhadap agama, semangat, dan
falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Data-data di atas
adalah dasar dalam penetapan diagnosa keperawatan.
(Asih, 1996 : 54-57)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
keperawatan adalah masalah yang nyata atau masalah kesehatan yang potensial
pada individu, keluarga dan kelompok dimana perawat dapat secara sah menangani
dalam bentuk tindakan keperawatan yang ditujukan untuk mengatasi atau
mengurangi masalah tersebut.
a.
Resiko
tinggi terhadap infeksi (infeksi Oportunistik) berhubungan dengan pertahanan
primer tak efektif dan depresi sistem imun.
b.
Resiko
tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan yang
berlebihan : Diare berat, Muntah, Status hipermetabolisme dan pembatasan
pemasukan.
c.
Resiko
ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ketidakseimbangan muskuler
(melemahnya otot-otot pernapasan) dan ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
d.
Resiko
tinggi terhadap perubahan faktor pembekuan akibat cedera berhubungan dengan
penurunan absorpsi vitamin K, perubahan pada fungsi hepar.
e.
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan
mencerna, mengunyah, dan nutrisi metabolisme.
f.
Nyeri
(Akut/Kronis) berhubungan dengan inflamasi, neoropati perifer, mialgia dan
kejang abdomen.
g.
Aktual
dan atau resiko tinggi terhadapa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan defisit
imunologis, malnutrisi.
h.
Perubahan
membran mukosa oral berhubungan dengan defisit imunologis dan kesehatan oral
tidak efektif.
i.
Kelelahan
berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolisme, tuntutan
psikologis/emosional berlebihan dan efek samping obat-obatan.
j.
Perubahan
proses pikir berhubungan dengan hipoksemia, infeksi SSP, malignansi otak, dan
perubahan metabolisme.
k.
Ansietas/Ketakutan
berhubungan dengan ancaman pada konsep pribadi, pemisahan dari sistem pendukung,
ketakutan akan pengeluaran penyakit pada keluarga yang dicintai.
l.
Isolasi
sosial berhubungan dengan persepsi tentang tidak diterima dalam masyarakat,
sumber-sumber pribadi tidak adekuat/sistem pendukung.
m.
Ketidakberdayaan
berhubungan dengan konfirmasi diagnosa sakit terminal.
n.
Kurang
pengetahauan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
denga kurang pemajanan, kesalahan interpretasi informasi dan keterbatasan
kognitif.
3. Rencana Tindakan Keperawatan
a. Diagnosa I :
Resiko tinggi terhadap infeksi
(infeksi Oportunistik) berhubungan dengan pertahanan primer tak efektif dan
depresi sistem imun.
Hasil yang diharapkan : Pasien
akan mengidentifikasi/ kut serta dalam perilaku yang mengurangi resiko infeksi,
mencapai masa penyembuhan luka/lesi, tidak demam dan bebas dari
pengeluaran/sekresi purulen serta tanda-tanda lain dari kondisi infeksi.
Rencana
tindakan :
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
perawatan dilakukan.
R/ Mengurangi
resiko kontaminasi silang.
2) Berikan lingkungan yang bersih dan
berventilasi baik.
R/ Mengurangi patogen pada sistem
imun dan mengurangi kemungkinan pasien mengalami infeksi nosokomial.
3) Diskusikan tingkat dan rasional isolasi
pencegahan dan mempertahankan kesehatan pribadi.
R/ Meningkatkan kerja sama dengan cara hidup dan
berusaha mengurangi rasa terisolasi.
4) Pantau tanda-tanda vital, termasuk suhu.
R/ Memberikan informasi data dasar.
5) Selidiki keluhan sakit kepala, kaku leher
dan perubahan penglihatan.
R/ Ketidaknormalan neurologis umum
dan mungkin dihubungkan dengan HIV atau infeksi sekunder.
6) Periksa kulit/membran mukosa oral terhadap
bercak putih/lesi.
R/ Kandidiasis oral, KS, Herpes
adalah penyakit yang umumnya terjadi dan memberikan efek pada membaran kulit.
7) Bersihkan kuku setaiap hari
R/ Mengurangi resiko transmisi
bakteri phatogen melalui kulit
8) Pantau keluhan nyeri uluhati, disfagia,
sakit retrosterno pada waktu menelan, peningkatan kejang abdominal, diare
hebat.
R/ Esofagitis mungkin terjadi
sekunder akibat kandidiasis oral ataupun herpes.
9) Periksa adanya luka/lokasi alat invasif,
perhatikan tanda-tanda inflamasi
R/ Identifikasi/perawatan awal dari
infeksi sekunder dapat mencegah terjadinya sepsis.
10) Gunakan sarung tangan, masker dan skort
selama kontak langsung dengan sekresi atau ekskresi.
R/ Penggunaan masker, skort dan
sarung tangan dilakukan untuk mencegah kontak langsung dengan cairan tubuh
penderita
11) Awasi pembuangan jarum suntik dan mata
pisau secara ketat dengan menggunakan wadah tersendiri
R/ Mencegah inokulasi tak disengaja
dari pemberi perawatan
12) Beri label pada tabung darah, wadah cairan
tubuh, pembalut/ linen yang kotor dan dibungkus dengan layak untuk pembuangan
setiap protokol isolasi
R/ Menghindari kontaminasi silang
dan mewaspadakan personel
13) Bersikan percikan cairan tubuh/darah
dengan larutan pemutih (1:10)
R/ Mengontrol mikroorganisme pada
permukaan keras
14) Kolaborasi : Studi laboratorium ; JDL dan
Kultur lesi, Darah, Urine, dan Sputum
R/ Perubahan pada JDL
mengindikasikan proses infeksi dan untuk menentukan metode perawatan yang
sesuai.
15) Kolaborasi : Beri antibiotik sesuai
indikasi
R/ Menghambat proses infeksi
b. Diagnosa II :
Resiko tinggi terhadap
kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan yang berlebihan : Diare
berat, Muntah, Status hipermetabolisme dan pembatasan pemasukan
Hasil yang diharapkan : Pasien akan
mempertahankan hidrasi dibuktikan oleh membran mukosa lembab, turgor kulit
baik, tanda-tanda vital stabil, haluan urine adekuat.
Rencana
tindakan :
1) Pantau tanda-tanda vital, termasuk CVP
bila terpasang.
R/ Indikator dari volume cairan
sirkulasi.
2) Catat peningkatan suhu dan durasi demam,
beri kompres hangat sesuai indikasi.
R/ Meningkatkan kebutuhan
metabolisme dan diaporesis yang berlebihan dapat dihubungkan dengan dema ;
kehilangan cairan tidak kasatmata.
3) Kaji turgor kulit, membran mukosa dan rasa
haus.
R/ Indikator tidak langsung dari
status cairan.
4) Ukuran haluaran urine dan berat jenis
urine. Ukur jumlah kehilangan diare dan catat kehilangan tidak kasatmata.
R/ Peningkatan BJU/penurunan
haluaran urine menunjukan perubahan perfusi ginjal.
5) Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ Fluktuasi tiba-tiba menunjukkan
status hidrasi.
6) Pantau pemasuka oral dan masukan cairan
sedikitnya 2500 ml/hari.
R/ Mempertahankan keseimbangan
cairan, mengurangi rasa haus dan melembabkan membran mukosa.
7) Buat cairan mudah diberikan pada pasien.
R/ Meningkatkan pemasukan cairan.
8) Hindari makanan yang berpotensial
menyebabkan diare
R/ Mungkin dapat mengurangi diare.
9) Kolaborasi beri cairan/elektrolit melalui
selang pemberi makanan/IV
R/ Diperlukan untuk
mendukung/memperbesar volume sirkulasi, terutama jika pemasukan oral tidak
adekuat.
10) Kolaborasi pantau hasil Lab : Hb/Ht,
Elektrolit serum/urine, BUN/Kreatini
R/ Bermanfaat dalam memperkirakan
kebutuhan cairan, mewaspadakan kemungkinan adanya gangguan elektrolit dan
menentukan kebutuhan elektrolit serta mengevaluasi perfusi/fungsi ginjal.
11) Kolaborasi beri obat-obatan sesuai
indikasi
R/ Menekan faktor-faktor yang dapat
memperberat kondisi pasien.
c. Diagnosa III :
Resiko ketidakefektifan pola
napas berhubungan dengan ketidakseimbangan muskuler (melemahnya otot-otot
pernapasan) dan ketidakseimbangan perfusi ventilasi
Hasil
yang diharapkan: Pasien akan mempertahankan
pola pernapasan efektif, tidak mengalami sesak napas/sianosis dengan bunyi
napas dan sinar X bagian dada yang bersih.
Rencana
tindakan :
1) Auskultasi bunyi napas, tandai daerah paru
yang mengalami penurunan/kehilangan fentilasi dan munculnya bunyi tambahan.
R/ Memperkirakan adanya
perkembangan komplikasi/ infeksi pernapasan.
2) Catat kecepatan/kedalaman pernapasan,
sianosis, penggunaan otot aksesori dan dispnea.
R/ Merupakan tanda kesulitan
pernapasan dan adanya kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan.
3) Tinggikan kepala tempat tidur ; usahakan
pasien untuk berbalik, batuk, menarik napas sesuai kebutuhan.
R/ Meningkatkan fungsi pernapasan
yang optimal dan mengurangi aspirasi atau infeksi yang ditimbulkan karena
atelektasis.
4) Hisap jalan napas sesuai kebutuhan,
gunakan teknik steril dan lakukan tindakan pencegahan.
R/ Membantu membershkan jalan
napas, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran gas dan mencegah komplikasi
pernapasan
5) Kaji perubahan tingkat kesadaran.
R/ Hipoksemia dapat terjadi akibat
adanya perubahan tingkat kesadaran mulai dari ansietas dan kekacauan menta
sampai kondisi tidak responsif.
6) Selidiki keluhan nyeri dada.
R/ Nyeri dada pleuritis dapat menggambarkan
adanya neumonia nonspesifik atau efusi pleura berkenaan dengan keganasan.
7) Beri periode istirahat yang cukup diantara
waktu aktivitas perawatan.
R/ Menurunkan konsumsi O2
8) Kolaborasi pantau pemeriksaan GDA/Nadi
oksimetri
R/ Menunjukan status pernapasan,
kebutuhan perawatan/ keefektifan pengobatan.
9) Kolaborasi tinjau ulang sinar X dada.
R/ Adanya infiltrasi meluas
memungkinkan terjadinya pneumonia atau PCP.
10) Kolaborasi beri tambahan O2
yang dilembabkan melalui yang sesuai.
R/ Mempertahankan ventilasi/oksigenasi
efektif untuk mencegah/memperbaiki krisis pernapasan.
11) Kolaborasi beri obat-obatan sesuai
indikasi.
R/ Pilihan terapi tergantung pada
situasi individu.
d. Diagnosa IV :
Resiko tinggi terhadap
perubahan faktor pembekuan akibat cedera berhubungan dengan penurunan absorpsi
vitamin K, perubahan pada fungsi hepar.
Hasil yang diharapkan : Pasien akan menunjukan homeostasis yang
ditunjukan dengan tidak adanya perdarahan mukosa dan bebas dari ekimosis.
Rencana tindakan :
1) Lakukan pemeriksaan darah pada
cairan tubuh untuk mengetahui adanya darah pada urine, dan cairan muntah.
R/ Mempercepat
deteksi adanya perdarahan/penentuan awal dari terapi mungkin dapat mencegah
perdarahan kritis.
2) Amati epistaksis, hemoptisis,
hematurial, perdarahan vaginal non-menstruasi atau pengeluaran darah melalui
lesi/orifisium tubuh/daerah penusukan terapi IV.
R/ Perdarahan
spontan mengindikasikan perkembangan KID atau trombositokenia imun.
3) Pantau perubahan tanda-tanda
vital dan warna kulit.
R/ Timbulnya
perdarahan/hemoragi dapat menunjukan kegagalan sirkulasi/syok.
4) Pantau perubahan tingkat
kesadaran dan gangguan penglihatan.
R/ Perubahan
kesadaran dapat menunjukan adanya perdarahan otak.
5) Hindari injeksi IM, pengukuran
suhu rektal.
R/ Melindungi
pasien dari prosedur berkenaan dengan penyebab perdarahan.
6) Pertahankan istirahat di
tempat tidur/kursi bila trombosit di bawah 10.000.
R/ Mengurangi
kemungkinan cedera, meskipun aktivitas harus tetap dipertahankan.
7) Kolaborasi pemeriksaan
laboratorium (PT, PTT, LED, Trombosit, Hb/Ht).
R/ Mendeteksi
ganguan kemampuan pembekuan.
8) Kolaborasi berikan produk
darah sesuai indikasi.
R/ Transfusi
mungkin diperlukan pada waktu terjadi perdarahan terus menerus.
9) Hindari penggunaan produk Aspirin.
R/ Mengurangi
agregasi trombosif, ketidakseimbangan/ perpanjangan proses koagulasi.
e. Diagnosa V :
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna, mengunyah, dan
nutrisi metabolisme.
Kemungkinan dibuktikan oleh : Penurunan berat badan, penurunan lemak
subkutan, menurunnya napsu makan, perubahan indra pengecap, kejang perut,
bising usus diperaktif, diare, luka/peradangan rongga bukal
Hasil yang diharapkan : Pasien
akan mempertahankan berat badan atau memperlihatkan peningkatan berat badan
yang mengacu pada tujuan yang diinginkan, mendemonstrasikan keseimbangan
nitrogen positif, bebas dari tanda-tanda malnutrisi dan menunjukan perbaikan
tingkat energi.
Rencana tindakan :
1) Kaji kemampuan untuk
mengunyah, merasakan dan menelan.
R/ Lesi mulut,
tenggorok dan esofagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien
untuk mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.
2) Auskultasi bising usus
R/ Hipermotilitas
saluran intestinal umum terjadi dan dihubungkan dengan muntah dan diare.
3) Timbang berat badan sesuai
kebutuhan.
R/ Indikator
kebutuhan nutrisi/pemasukan yang adekuat.
4) Hilangkan perangsangan
lingkungan yang berbahaya atau kondisi yang memperburuk refleks gag.
R/ Mengurangi
stimulus pusat muntah di medula.
5) Beri perawatan mulut terus
menerus, awasi tindakan pencegahan sekresi.
R/ Mengurangi
ketidak nyamanan dan meningkatkan napsu makan.
6) Rencanakan diet dengan
pasien/orang terdekatnya.
R/ Melibatkan
pasien dalam rencana memberikan perasaan kontrol lingkungan dan mungkin
meningkatkan pemasukan.
7) Kaji obat-obatan terhadap efek
samping nutrisi.
R/ Profilaktik
dan obat-obatan terapeutik mungkin memiliki efek samping nutrisi.
8) Batasi makanan yang
menyebabkan mual/muntah.
R/ Rasa sakit
pada mulut atau ketakutan akan mengiritasi lesi mulut akan menyebabkan pasien
enggan makan.
9) Jadwalkan obat-obatan diantara
makan dan batasi pemasukan cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki
nilai gizi.
R/ Lambung yang
penuh akan mengurangi napsu makan dan pemasukan makanan.
10) Beri fase istirahat sebelum
makan.
R/ Mengurangi
rasa lelah.
11) Dorong pasien untuk duduk pada
waktu makan.
R/ Mempermudah
proses menelan dan mengurangi resiko aspirasi.
12) Catat pemasukan kalori.
R/ Mengidentifikasi
kebutuhan terhadap suplemen atau alternatif metode pemberian makanan.
13) Kolaborasi tinjau ulang
pemeriksaan Laboratorium (BUN, glukosa, fungsi hepar, elektrolit, protein dan
albumin.
R/ Mengindikasikan
status nutrisi dan fungsi organ.
14) Kolaborasi pemasangan NGT
sesuai indikasi.
R/ Diperlukan
untuk mengurangi mual/muntah atau untuk pemberian makanan perselang.
15) Konsultasikan dengan tim
pendukung ahli diet/gizi.
R/ Menyediakan
diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat.
16) Kolaborasi beri obat-obatan
sesuai petunjuk.
R/ Mengurangi
insiden muntah, meningkatkan fungsi gaster, meningkatkan absorpsi dalam sistem
gastrointestinal.
f. Diagnosa VI :
Nyeri (Akut/Kronis)
berhubungan dengan inflamasi, neoropati perifer, mialgia dan kejang abdomen.
Kemungkinan dibuktikan oleh : adanya keluhan nyeri, befokus pada diri
sendiri; perilaku melindungi, perubahan pada
denyut nadi, respon autonomik, gelisah.
Hasil yang diharapkan : pasien
akan mengontrol rasa sakitnya, tidak ada keluhan, menunjukan ekspresi wajah
rilek, dapat tidur/ beristirahat.
Rencana tindakan :
1) Kaji keluhan nyeri, perhatikan
lokasi, intensitas (Skala 1-10), frekuensi, waktu. Menandai gejala non-verbal
misalnya gelisah, takikardia, meringis.
R/ Mengindikasikan
kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda perkembangan/resolusi
komplikasi.
2) Dorong pengungkapan perasaan.
R/ Dapat
mengurangi ansietas dan rasa takut, sehingga mengurangi persepsi akan
intensitas rasa sakit.
3) Berikan atifitas hiburan.
R/ Memfokuskan
kembali perhatian; mungkin dapat meningkatkan kemampuan untuk menanggulangi.
4) Lakukan tindakan paliatif.
R/ Meningkatkan
relaksasi/menurunkan tengangan otot.
5) Beri kompres hangat/lembab
pada sisi injeksi pentamidin/IV selama 20 menit setelah pemberian.
R/ Injeksi ini
diketahui sebagai penyebab rasa sakit dan abses steril.
6) Instruksikan pasien untuk
menggunakan visualisasi/ bimbingan imajinasi, relaksasi progresif, teknik napas
dalam.
R/ Meningkatkan
relaksasi dan perasaan sehat.
7) Kolaborasi beri
analgesik/antipiretik sesuai indikasi.
R/ Memberikan
penurunan nyeri/tidak nyaman dan mengurangi demam
g. Diagnosa VII :
Aktual dan atau resiko tinggi
terhadapa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan defisit imunologis,
malnutrisi.
Kemungkinan dibuktikan oleh : lesi kulit, ulserasi, formasi ulkus
dekubitus
Hasil yang diharapkan : Pasien
akan menunjukan tingkah laku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit/ meningkatkan
kesembuhan, menunjukkan kemajuan pada luka/ penyembuhan lesi.
Rencana tindakan :
1) Kaji kulit setiap hari, catat
warna, turgor, sirkulasi dan sensasi.
R/ Menentukan
garis dasar dimana perubahan pada stakus dapat dibandingkan dan melakukan
intervensi yang tepat.
2) Pertahankan higiene kulit.
R/ Mempertahankan
kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.
3) Ubah posisi secara teratur,
ganti seprei sesuai kebutuhan dan lindungi penonjolan tulang dengan bantal
R/ Mengurangi
stres pada titik tekanan, meningkatkan aliran darah ke jaringan dan
meningkatkan proses kesembuhan.
4) Dorong untuk ambulansi.
R/ Menurunkan tekanan
pada kulit dari istirahat lama di tempat tidur.
5) Bersikan area perianal dengan
menggunakan air dan air mineral.
R/ Mencegah
maserasi yang disesbabkan oleh diare dan menjaga agar lesi perianal tetap
kering.
6) Gunting kuku secara teratur.
R/ Kuku yang
panjang/kasar meningkatkan resiko kerusakan dermal.
7) Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut
yang steril.
R/ Dapat mengurangi kontaminasi
bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
8) Kolaborasi beri matras atau
tempat tidur busa.
R/ Menurunkan
iskemia jaringan, mengurangi tekanan pada kulit, jaringan dan lesi.
9) Kolaborasi beri obat-obatan
topikal/sistemik sesuai indikasi.
R/ Digunakan pada
perawatan lesi kulit.
h. Diagnosa VIII :
Perubahan membran mukosa oral
berhubungan dengan defisit imunologis dan kesehatan oral tidak efektif.
Kemungkinan dibuktikan oleh : Lesi ulkus terbuka, vesikel, rasa sakit atau
tidak nyaman pada bagian oral, stomatitis (leukoplakia, gingivitis, karies
gigi).
Hasil yang diharapkan : Pasien akan menunjukan membran mukosa utuh,
berwarna mera jambu, basah dan bebas dari inflamasi/ ulserasi, menunjkan teknik
memperbaiki keutuhan mukosa oral .
Rencana tindakan :
1) Kaji membran mukosa/catat
seluruh lesi oral.
R/ Edema, lesi,
membran mukosa oral dan tenggorok kering menyebabkan rasa sakit dan sulit
mengunyah/ menelan.
2) Berikan perawatan oral setiap
hari dan setelah makan.
R/ Mengurangi
rasa tidak nyaman, meningkatkan rasa sehat dan mencegah pembentukan asam yang
dikaitkan dengan partikel makanan yang tertinggal.
3) Cuci lesi mukosa oral dengan
menggunakan hidrogen peroksida/salin atau larutan soda kue.
R/ Mengurangi
penyebaran lesi dan krustasi dari kandidiasis dan meningkatkan kenyamanan.
4) Anjurkan mengunyah permen
karet/permen tidak mengandung gula.
R/ Merangsang
saliva untuk menetralkan asam dan melindungi membran mukosa.
5) Rencanakan diet untuk
menghindari garam, pedas dan makanan/minuman asam.
R/ Makanan yang
pedas akan membuka lesi yang telah disembuhkan.
6) Dorong pemasukan oral
sedikitnya 2.500 ml/hari.
R/ Mempertahankan
hidrasi, mencegah pengeringan rongga mulut.
7) Dorong pasien untuk tidak
merokok
R/ Rokok akan
mengeringkan dan mengiritasi membran mukosa.
8) Kolaborasi dapatkan spesimen
kultur lesi.
R/ Menunjukan
agen penyebab dan mengidentifikasi terapi yang sesuai.
9) Kolaborasi beri obat-obatan
sesuai petunjuk.
R/ Obat khusus
pilihan tergantung pada organisme infeksi.
i.
Diagnosa IX :
Kelelahan berhubungan dengan
penurunan produksi energi metabolisme, tuntutan psikologis/emosional berlebihan
dan efek samping obat-obatan.
Kemungkinan dibuktikan oleh : Kekurangan energi yang tidak berubah/ berlebihan,
ketidakmampuan untuk mempertahankan rutinitas sehari-hari, penurunan
penampilan, ketidakseimbangan kemampuan untuk berkonsentrasi, kelesuan/tanpa
gairah, tidak berhasrat terhadap lingkungan.
Hasil yang diharapkan : Pasien akan melaporkan
peningkatan energi, melaksanakan AKS, berpartisipasi dalam aktivitas yang
diinginkan pada tingkat kemampuannya.
Rencana tindakan :
1) Kaji pola tidur dan catat
perubahan dalam proses berpikir/ prilaku.
R/ Berbagai
faktor dapat meningkatkan kelelahan termasuk kurang tidur, penyakit SSP,
tekanan emosi dan efek samping obat-obatan.
2) Rencanakan perawatan untuk
menyediakan fase istirahat.
R/ Periode
istirahat yang sering sangat dibutuhkan dalam memperbaiki/menghemat energi.
3) Tetapkan keberhasilan
aktivitas yang realistis dengan pasien.
R/ Mengusahakan
kontrol diri dan perasaan berhasil serta mencegah timbulnya perasaan frustasi
akibat kelelahan.
4) Bantu memenuhi kebutuhan perawatan
pribadi.
R/ Rasa lemas
dapat membuat AKS hampir tidak mungkin bagi pasien untuk menyelesaikannya.
5) Dorong pasien untuk melakukan
apapun yang mungkin.
R/ Memungkinkan
penghematan energi, peningkatan stamina dan mengijinkan pasien untuk lebih
aktif tanpa menyebabkan kepenatan dan rasa frustasi.
6) Pantau respon psikologis
terhadap aktivitas.
R/ Toleransi
bervariasi tergantung pada status proses penyakit, status nutrisi, keseimbangan
cairan dan jumlahnya penyakit dimana pasien menjadi subyeknya.
7) Dorong masukan nutrisi.
R/ Pemasukan/penggunaan
nutrisi adekuat sangat penting bagi kebutuhan energi untuk aktivitas.
8) Kolaborasi berikan O2
tambahan sesuai petunjuk.
R/ Adanya
anemia/hipoksemia mengurangi persediaan O2 untuk ambilan seluler dan
menunjang kelelahan.
9) Kolaborasi rujuk pada terapi
fisik/okupasi.
R/ Latihan setiap
hari terprogram dan aktivitas yang membantu pasien mempertahankan/meningkatkan
kekuatan dan tonus otot, meningkatkan rasa sejahtera.
j.
Diagnosa X :
Perubahan proses pikir
berhubungan dengan hipoksemia, infeksi SSP, malignansi otak, dan perubahan
metabolisme
Kemungkinan dibuktikan oleh : Perubahan
lapang perhatian, distraktibilitas, defisit memori, disorientasi, disonansi
kognitif, berpikir delusional, gangguan tidur, kerusakan kemampuan untuk
mengambil keputusan/memecahkan masalah, ketidakmampuan mengikuti perintah,
kehilangan kontrol impuls
Hasil yang diharapkan : Pasien
akan mempertahankan orientasi realita umum dan fungsi kognitif optimal
Rencana tindakan :
1) Kaji status mental dan
neurologis dengan menggunakan alat yang sesuai.
R/ Menetapkan tingkat
fungsional pada waktu penerimaan dan mewaspadakan perawat pada perubahan status yang sapat dihubungkan
dengan infeksi/kemungkinan penyakit SSP.
2) Pertimbangkan efek dari
tekanan emosional
R/ Dapat
menunjang penurunan kewaspadaan, kekacauan mental, menarik diri, hipo aktivitas
dan kebutuhan lebih lanjut akan evaluasi dan intervensi.
3) Baca aturan penggunaan
obat-obatan.
R/ Aksi dan
interaksi dari berbagai obat-obatan akan memperpanjang obat-obat penyambung
hidup, mengakibatkan efek kumulatif dan resiko potensial dari reaksi toksisitas
4) Pantau adanya tanda-tanda
adanya infeksi SSP.
R/ Gejala SSP
dihubungkan dengan meningitis/ensefalitis diseminata mungkin memiliki jangkauan
dari perubahan kepribadian yang tidak kelihatan sampai kekacauan mental.
5) Pertahankan lingkungan yang
menyenangkan dengan perangsangan auditoriuas, visual dan kognitif yang tepat.
R/ Memberikan
rangsangan lingkungan normal akan membantu dalam mempertahankan orientasi
realitas.
6) Berikan isyarat untuk
reorientasi.
R/ Reorientasi
sering terhadap tempat dan waktu mungkin diperlukan, tertutama selama terjadi
demam hebat/akut yang melibatkan SSP.
7) Diskusikan penggunaan buku
data, daftar, perlengkapan untuk tetap berada pada jalur aktivitas.
R/ Teknik-teknik
ini akan membantu pasien mengatasi masalah pelupa.
8) Dorong keluarga/orang terdekat
untuk bersosialisasi dan berikan reorientasi dengan berita aktual.
R/ Hubungan yang
biasa sering kali akan berguna dalam membantu mempertahankan orientasi realita
9) Dorong pasien melakukan
kegiatan sebanyak mungkin.
R/ Membantu
mempertahankan kemampuan mental untuk periode yang panjang.
10) Berikan bantuan untuk orang
terdekat; diskusikan masalah perhatian/rasa takut.
R/ Perilaku
aneh/penyimpangan kemampuan mungkin sangat menakutkan bagi orang terdekat dan
mempersulit penatalaksanaan keperawatan/situasi.
11) Kurangi rangsang
provokatif/mencemaskan.
R/ Jika pasien
memiliki kecenderungan agitasi, ada perilaku bermusuhan atau menyerang, maka
pengurangan rangsangan eksternal mungkin akan berguna.
12) Kurangi kebisingan terutama
pada malam hari.
R/ Meningkatkan
waktu tidur, mengurangi gejala kognitif dan kurang tidur.
13) Diskusikan penyebab/harapan
dimasa depan dan perawatan jika dimensia telah terdiagnosa.
R/ Mendapatkan
informasi bahwa AZT telah muncul untuk memperbaiki kognisi dapat memberikan
harapan dan kontrol terhadap kehilangan
14) Kolaborasi pemeriksaan
diagnostik (MRI, Scan CT, Pungsi Spinal, Pemantauan pemeriksaan Lab. Sesuai
petunjuk)
R/ Pilihan tes
atau pemeriksaan tergantung pada manifestasi klinis dan indeks kecurigaan
saesuai dengan perubahan status mental.
15) Kolaborasi beri obat-obatan
antipsikotik dan antiansietas sesuai indikasi.
R/ Penggunaan
dengan waspada membantu mengatasi manifestasi.
16) Rujuk pada konseling sesuai
petunjuk
R/ Membantu
pasien meningkatkan kontrol terhadap timbulnya gangguan berpikir atau
simtomatologi psikotik
k. Diagnosa XI :
Ansietas/Ketakutan berhubungan
dengan ancaman pada konsep pribadi, pemisahan dari sistem pendukung, ketakutan
akan pengeluaran penyakit pada keluarga yang dicintai.
Kemungkinan
dibuktikan oleh : Peningkatan tegangan, ketakutan, perasaan tidak berdaya/putus
asa, menunjukan masalah yang berhubungan dengan perubahan pada kehidupan,
ketakutan akan konsekuensi yang tidak spesifik, keluhan somatik, insomnia,
stimulasi simpatis, gelisah.
Hasil yang diharapkan : Pasien
akan menyatakan kesadaran tentang perasaan dan cara sehat untuk menghadapinya,
menunjukan rentang normal dari perasaan dan berkurangnya rasa takut/ansietas,
menunjukan kemampuan untuk mengatasi masalah, menggunakan sumber-sumber dengan
efektif
Rencana tindakan :
1) Jamin pasien tentanga
kerahasiaan dalam batasan situasi tertentu
R/ Memberikan
penentraman hati lebih lanjut dan kesempatan bagi pasien untuk memecahkan
masalah pada situasi yang diantisipasi.
2) Pertahankan hubungan yang
sering dengan pasien, batasi penggunaan alat pelindung dan masker.
R/ Menjamin bahwa
pasien tidak akan sendiri serta menunjukan rasa menghargai dan menerimanya,
3) Beri informasi yang akurat dan
konsisten mengenai progresi penyakit.
R/ Mengurangi
ansietas dan ketidakmampuan pasien untuk membuat keputusan berdasarkan realita.
4) Waspada terhadap tanda-tanda
penolakan/depresi.
R/ Pasien mungkin
akan menggunakan mekanisme bertahan dengan penolakan yang terus berharap bahwa
diagnosanya tidak akurat.
5) Beri lingkungan terbuka dimana
pasien akan merasa bebas untuk mendiskusikan perasaan.
R/ Membantu
pasien untuk merasa diterima pada kondisi sekarang tanpa perasaan dihakimi
6) Sarankan pasien untuk
mengekspresikan rasa marah, takut, putus asa tanpa konfrontasi.
R/ Penerimaan
perasaan akan membuat pasien akan menerima situasi.
7) Kenali dan dukung tahap
pasien/keluarga pada proses berduka.
R/ Pilihan intervensi
ditentukan oleh tahap berduka.
8) Jelaskan prosedur, berikan
kesempatan untuk bertanya dan jawab dengan jujur.
R/ Informasi yang
akurat akan membuat pasien dapat lebih efektif dalam meghadapi realita situasi
sehingga megurangi ansietas.
9) Identivikasi dan dorong
interaksi pasien dengan sistem pendukung
R/ Mengurangi
perasaan terisolasi.
10) Libatkan orang terdekat sesuai
petunjuk pada pengambilan keputusan yang bersifat mayor.
R/ Menjamin
adanya sistem pendukung bagi pasien
11) Kolaborasi rujuk pada
konseling psikiatri.
R/ Diperlukan
bantuan lebih lanjut dalam berhadapan dengan diagnosa tertentu terutama jika
timbul pikiran bunuh diri.
l.
Diagnosa XII :
Isolasi sosial berhubungan
dengan persepsi tentang tidak diterima dalam masyarakat, sumber-sumber pribadi
tidak adekuat/sistem pendukung.
Kemungkinan dibuktikan oleh : Menunjukan perasaan kesepian, perasaan
ditolak, tidak adanya dukungan terdekat.
Hasil yang diharapkan : Menunjukan
peningkatan perasaan harga diri, berpartisipasi dalam aktivitas.
Rencana tindakan :
1) Tentukan resepsi pasien
tentang situasi.
R/ Isolasi
sebagian dapat mempengaruhi diri saat pasien takut penolakan/reaksi orang lain.
2) Beri waktu untuk berbicara
dengan pasien selama dan diantara aktivitas perawatan.
R/ Pasien mungkin
akan mengalami isolasi fisik.
3) Batasi penggunaan masker dan
alat pengaman lainnya jika memungkinkan.
R/ Mengurangi perasaan
pasien akan isolasi fisik dan menetapkan hubungan sosial yang positif.
4) Identifikasi sistem pendukung
yang tersedia bagi pasien.
R/ Jika pasien
mendapat bantuan dari orang terdekat, perasaan kesepian dan ditolak akan
berkurang
5) Jelaskan prosedur/petunjuk
isolasi pada pasien/orang terdekat.
R/ Penjelasan
akan membantu pasien untuk memahami alasan-alasan prosedur dan mempersiapkan
perasaan termasuk mengenai apa yang terjadi.
6) Sarankan adanya hubungan yang
aktif dengan orang terdekat.
R/ Membantu
memantapkan partisipasi pada hubungan sosial
7) Waspadai gejala
verbal/nonverbal.
R/ Indikasi bahwa
putus asa dan ide untuk bunuh diri sering muncul.
8) Kolaborasi rujuk pada sumber-sumber
pelayanan sosial.
R/ Mengadakan
sistem pendukung dan mengurangi perasaan terisolasi
m. Diagnosa XIII :
Ketidakberdayaan berhubungan dengan
konfirmasi diagnosa sakit terminal
Kemungkinan dibuktikan oleh : Perasaan hilangnya kontrol terhadap kehidupan
pribadi, depresi pada penyimpangan fisik yang terjadi meskipun pasien mentaati
aturan, rasa marah, apatis, menarik diri, bergantung pada orang lain yang
menyebabkan timbulnya rasa benci, marah dan rasa bersalah.
Hasil yang diharapkan : Menyatakan perasaan dan cara yang sehat untuk
berhubungan dengan mereka, mengungkapkan rasa kontrol terhadap situasi, membuat
keputusan yang berhubungan dengan perawatan dan ikut serta dalam perawatan diri
Rencana tindakan :
1) Identifikasi faktor yang
berhubungan dengan perasaan tidak berdaya
R/ Para penderita
umumnya menyadari literatur dan prognosis terbaru.
2) Kaji tingkat perasaan tidak
berdaya (perhatikan ekspresi verbal dan nonverbal)
R/ Menentukan
status individual pasien dan mengusahakan intervensi yang sesuai pada waktu
pasien imobilisasi karena perasaan depresi.
3) Dorong peran aktif pada perencanaan
akitivitas, menetapkan keberhasilan harian yang realistis
R/ Memungkinkan
peningkatan perasaan kontrol dan menghargai diri sendiri dan tanggungjawab diri.
4) Dorong harapan hidup dan
kekuatan bertahan lama dari dokumen pengacara.
R/ Banyak faktor
yang berkenaan dengan perawatan yang digunakan pada ketidakmampuan ini dan
sering menempatkan proses penyakit fatal pasien di dalam kekuasaan personel
medis.
n. Diagnosa XIV :
Kurang pengetahauan mengenai
penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan denga kurang
pemajanan, kesalahan interpretasi informasi dan keterbatasan kognitif
Kemungkinan
dibuktikan oleh : Pertanyaan atau permintaan informasi, pernyataan salah
konsepsi, tidak tepat mengikuti instruksi/terjadinya komplikasi yang dapat
dicegah.
Hasil
yang diharapkan : Mengungkapkan pemahamannya tentang kondisi/proses dan
perawatan dari penyakit tersebut, mengidentifikasi hubungan antara
tanda-tanda/gejala-gejala pada proses penyakit, menunjukan prosedur yang
diperlukan dengan tepat dan menjelaskan alasan suatu tindakan, memulai
perubahan gaya hidup yang perlu dan ikut serta dalam aturan perawatan.
Rencana
tindakan :
1) Tinjau ulang proses penyakit
dan apa yang menjadi harapan di masa depan.
R/ Memberikan
pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
2) Kaji tingkat ketergantungan
dan kondisi fisik
R/ Membantu
merencanakan jumlah perawatan dan kebutuhan penatalaksanaan gejala.
3) Tinjau ulang cara penularan
penyakit.
R/ Mengoreksi
mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan keamanan bagi pasien/orang lain.
4) Instruksikan pasien dan beri
perawatan mengenai kontrol infeksi.
R/ Mengurangi
penularan penyakit.
5) Perhatikan bahwa pasien/orang
terdekat dapat menunjukan perawatan oral dan gigi yang baik.
R/ Mukosa oral
dapat dengan cepat menunjukan komplikasi hebat dan progrese.
6) Tinjau ulang kebutuhan diet.
R/ Meningkatkan
nutrisi adekuat.
7) Diskusikan aturan obat-obatan,
interaksi dan efek samping.
R/ Meningkatkan
kerja sama demi suksesnya terapi.
8) Berikan informasi mengenai
penatalaksanaan gejala yang melengkapi aturan medis.
R/ Memberi pasien
peningkatan kontrol, mengurangi resiko rasa malu.
9) Tekankan pentingnya istrahat
adekuat.
R/ Mencegah atau
mengurangi kepenatan/meningkatkan kemampuan.
10) Dorong aktivitas pada tingkat
yang dapat ditoleransi.
R/ Merangsang
pelepasan endorfin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
11) Tekankan perlunya melanjutkan
perawatan kesehatan dan evaluasi.
R/ Memberi
kesempatan untuk mengubah aturan dan memenuhi kebutuhan perubahan.
12) Anjurkan penghentian merokok.
R/ Merokok akan
meningkatkan resiko infeksi pernapasan dan dapat menyebabkan ketidakseimbangan
sistem imun.
13) Identifikasi tanda dan gejala yang
membutuhkan evalusi medis.
R/ Pengenalan
awal akan perkembangan komplikasi dan intervensi yang tepat pada waktunya.
14) Identifikasi sumber-sumber
komunitas .
R/ Memudahkan
pemindahan dari lingkungan perawatan dan mendukung pemulihan serta kemandirian
pasien.
(Doenges, 1999 : 838-858)
4. Pelaksanaan Rencana Keperawatan
Pelaksanaan
adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik.
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada
nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh
karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Tujuan dari
pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan,
yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan
dan memfasilitasi koping. Rencana tindakan keperawatan akan dapat dilaksanakan
dengan baik, jika klien mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam
pelaksanaan tindakan keperawatan. Selama tahap pelaksanaan, perawat terus
melakukan pengumpulan data dan memilih tindakan keperawatan yang paling sesuai
dengan kebutuhan klien. Semua tindakan keperawatan dicatat ke dalam format yang
telah ditetapkan oleh institusi. (Nursalam, 2001 : 63).
5. Evaluasi
Evaluasi
adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan
sebera jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil
dicapai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor “kealpaan” yang
terjadi selama tahap pengkajian, analisa, perencanaan dan pelaksanaan tindakan.
(Nursalam, 2001 :71).
DAFTAR PUSTAKA
Asih Ni Luh G. Yasmin,
1996, Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Gangguan Sistem Persyarafan,
EGC, Jakarta.
Brunner & Suddarth,
2001, Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Doenges E. Marylin, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3,
EGC, Jakarta.
Hudak & Gallo, 1996
Mansjoer, Arif, dkk., 2000,
Kapita Selekta Kedokteran, Media
Aesculapius, Jakarta.
Nursalam, 2001, Proses & Dokumentasi Keperawatan Konsep
& Praktik, Salemba Medika, Jakarta.
Sloane, Ethel, 2003, Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula, EGC,
Jakarta.
Smeltzer, Suzanne, C, 2001,
Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Brunner & Suddart, EGC, Jakarta.
http://medlinux.blogspot.com/2007/11/cedera-kepala.html,rabu
tanggal 16 Desember 2009 Pukul 16.16 WITA.
http://www.sjaksoft
.net/index.php? option=com content&task, hari haru tanggal 16 Desember 2009
Pukul 16.30 WITA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar